Jumat 21 Nov 2014 18:20 WIB
Penodaan agama

Komnas HAM: Jika Dicabut, Penodaan Agama Marak Lagi

Rep: c08/ Red: Joko Sadewo
(dari kiri) Koordinator SubKomisi Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron, Wakil ketua Eksternal Komnas HAM Siane Indriani, Ketua Komnas HAM Hafid Abbas, dan Wakil ketua Internal Komnas HAM Ansori Sinungan  (Republika)
Foto: Republika/ Wihdan
(dari kiri) Koordinator SubKomisi Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron, Wakil ketua Eksternal Komnas HAM Siane Indriani, Ketua Komnas HAM Hafid Abbas, dan Wakil ketua Internal Komnas HAM Ansori Sinungan (Republika)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-  Wakil Ketua Komnas HAM Ansori Sinungan menilai desakan dari Amnesty Internasional kepada Presiden Joko Wododo untuk mencabut UU penodaan agama tidak tepat. Anshori menilai, untuk mencabut UU di Indonesia harus menempuh berbagai tahapan.

“Mancabut UU nggak semudah itu. Yang bisa menghapuskan apakah ada pertentangan dengan  konstitusi,” kata Anshori kepada Republika Online (ROL), Jumat (21/11).

Baca Juga

Komnas HAM, kata Anshori tidak sepakat dengan usulan dari Amnesty Internasional ini. Bila UU penodaan agama dicabut, ia khawatir akan timbul lagi berbagai persoalan penodaan agama yang sejak dulu banyak terjadi di Indonesia. “Tujuannya dibuat supaya penodaan agama di Indonesia itu tidak ada lagi,” ujar Anshori.

Ia juga menilai tidak semua aturan di dalam standar hukum internasional bisa disesuaikan dengan aturan hukum di Indonesia. Pasalnya, aturan hukum di Indonesia harus sesuai dengan kondisi dan kepentingan secara nasional di mana, Indonesia mempunyai keragaman agama yang begitu kompleks. Bila standar hukum internasional tak sesuai dengan kepentingan nasional, menurut Anshori Indonesia tidak bisa menerima usulan tersebut.

Seperti diketahui Amnesty Internasional yang bergerak di dalam bidang hukum dan kebebasan beragama meminta Presiden Jokowi untuk mencabut UU penodaan agama. Amnesty menyebut UU penodaan agama berimplikasi kepada banyakknya kekerasan terhadap pemeluk agama minoritas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement