REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menyarankan kemendagri untuk melakukan evalusi program KTP elektronik (e-KTP). Evaluasi itu juga mencakup evaluasi pejabat pelaksana dan penanggung jawab program tersebut.
Mendagri Tjahjo Kumolo disarankan mengintensifkan komunikasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mempercepat penuntasan kasus hukum program senilai Rp 6,7 triliun tersebut.
"Mendagri punya tanggung jawab, tidak hanya soal kasus hukum. Harus ada evaluasi internal, harus membangun komunikasi dengan KPK soal siapa yang tersangka, bagaimana penindakannya," kata peneliti ICW, Tama Satrya Langkun, Selasa (18/11).
Kasus hukum e-KTP, lanjut Tama, telah berjalan cukup lama. Mendagri sebagai pimpinan kementerian yang baru seharusnya sudah mengetahui garis besar masalah yang ada.
Kasus hukum e-KTP, menurutnya, tidak lagi hanya menyangkut program pencetakan identitas kependudukan semata. Namun juga menyangkut sistem dan jejaring program sosial kemasyarakatan. Karena itu mendagri harus lebih tegas.
"Ada pejabat yang sudah tersangka, memang tetap pakai praduga tak bersalah. Tapi mendagri juga harus punya kebijakan, bagaimana agar kasus hukum yang kemarin tidak mempengaruhi kelanjutan penyelesaian program e-KTP," ungkapnya.
Tama berpendapat, kemendagri juga harus membenahi pelaksana program tersebut. "Dipertimbangkan orang-orang yang statusnya tersangka, atau diduga terlibat. Dibatasi aksesnya, agar jangan ada pengulangan," kata dia.
Pada April 2014, KPK menetapkan Pejabat Pembuat Komitmen Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, Sugiharto sebagai tersangka.
Ia diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi terkait pengadaan paket penerapan E-KTP tahun 2011-2012 pada kemendagri dengan nilai proyek sebesar 6 triliun rupiah. Akibatnya, negara diduga mengalami kerugian sekitar 1,1 triliun rupiah.