REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko 'Jokowi' Widodo sudah resmi mengumumkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi sebesar Rp 2.000.
Saat ini harga premium dibanderol Rp 8.500 dan solar Rp 7.500. Jokowi adalah Presiden yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang di era Presiden Susilo Bambang Yudoyono paling depan menentang kebijakan kenaikan harga BBM.
Namun, saat ini, ketika Jokowi resmi menaikkan harga BBM, bagaimana sikap partai pimpinan Megawati Soekarno Putri itu? Politikus senior PDIP, Pramono Anung mengatakan alasan kenaikan harga BBM oleh Jokowi tidak boleh dipandang dari kacamata politik saja. Namun juga dilihat berdasarkan kenyataan anggaran yang ada. Terlebih kebijakan kenaikan harga ini dilakukan Jokowi yang belum genap 1 bulan menjabat.
"Bagi kepentingan jangka panjang, ini menyehatkan fiskal," kata Pramono di gedung parlemen, Selasa (18/11).
Pramono menambahkan saat ini kondisi fiskal pemerintah sangat berat. Kalau dibiarkan seperti ini, maka akan ada multi efek di banyak sektor. Akibatnya Jokowi akan lebih sulit mewujudkan janji-janjinya pada masyarakat untuk membangun di berbagai bidang. Menurut Pramono, Jokowi berani mengambil kebijakan tidak populis untuk mengatasi persoalan defisit fiskal.
"Kenaikan ini ditujukan untuk menaikkan fiskal kita," imbuh Pramono.
Menanggapi alasan pemerintah yang akan menggunakan tiga kartu untuk mengurangi dampak atas kenaikan BBM, Pramono menegaskan kartu Jokowi tidak ada hubungannya dengan kenaikan harga BBM. Sebab, kartu Jokowi ini sudah dijanjikan jauh hari sebelum kenaikan harga BBM.