REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR-- Pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) premium bersubsidi dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500 per liter, demikian juga solar dari Rp 5.500 ke Rp 7.500 per liter.
Itu adalah harga yang berlaku di Pulau Jawa dan Bali, sedangkan harga di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua jauh lebih mahal dari itu. Harga bensin premium di Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur sebelum kenaikan dijual Rp 35 ribu per liter. Kini, premium bersubsidi di sana dijual Rp 50 ribu per liter.
"Itu harga ditingkat eceran. Penjual membawa BBM dari Kupang ke Pulau Sabu menggunakan jerigen," kata Yandharson Yanthopet Selan, seorang warga, dihubungi Republika, Selasa (18/11).
Kenaikan BBM di Pulau Sabu secara fluktuatif sering terjadi. Di luar pengumuman kenaikan harga dari pemerintah, kondisi lain yang memengaruhi misalnya cuaca buruk, sehingga armada pelayaran dan perahu pengangkut BBM tak bisa berlayar. Hal ini juga dialami oleh pulau-pulau kecil lainnya di Nusa Tenggara.
Apalagi, kata pria yang akrab disapa Yantho ini, Pulau Sabu belum miliki Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Pria yang juga karyawan di Kupang ini mengatakan dirinya tak setuju dengan kebijakan kenaikan BBM oleh pemerintah. Harga premium di Kupang per Selasa (18/11) sudah naik dari delapan ribu rupiah menjadi Rp 10 ribu per liter.
SPBU di ibukota NTT itu sempat tutup pada malam menjelang pengumuman resmi di Istana Kepresidenan dan kini sudah beroperai secara normal. "Harga premium di kota masih lumayan. Kasihan masyarakat di kampung yang sudah cukup direpotkan dengan kelangkaan BBM dan kini dibebani lagi dengan harga yang semakin mahal," ujar Yanto.
Kenaikan BBM di NTT, kata Yanto berikutnya akan mengerek harga bahan pokok di pasar-pasar tradisional di Kupang. Pasalnya, komoditas seperti sayur, buah, dan daging yang dijual di Kupang dibawa dari desa-desa luar Kupang. Semuanya diangkut menggunakan jalur transportasi darat dan laut yang otomatis terpengaruh kenaikan BBM.