Selasa 04 Nov 2014 17:30 WIB

Pengamat: Pupuk, Masalah Klise yang Selalu Berulang

Pupuk (ilustrasi)
Foto: Antara
Pupuk (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Pengamat dan praktisi bisnis pupuk, Acu Kusnandar mengatakan, masih sulitnya petani untuk mendapatkan pupuk merupakan salah satu masalah dalam mewujudkan kesejahteraan petani. Kalaupun tersedia, harga pupuk terbilang mahal.

"Masalah pupuk, seringkali menjadi salah satu masalah klise yang berulang," ujar Acu Kusnandar kepada ROL, Selasa (4/11). Apalagi, kata dia, pada tahun terakhir kesulitan petani untuk mendapatkan pupuk menjadi lebih parah. Hal itu, kata dia, terbukti dari maraknya pemberitaan terkait sulitnya petani mendapatkan pupuk.

Padahal, lanjut Acu, pupuk merupakan faktor produksi yang sangat penting dalam sektor pertanian. "Keberadaan pupuk secara tepat baik mutu, jumlah, harga tempat, waktu dan jenis akan sangat menentukan kuantitas dan kualitas produk pertanian yang dihasilkan," papar doktor bidang Manajemen Bisnis jebolan Unpad itu.

Kekurangan pupuk, kata dia, dapat mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi tidak normal, sehingga megurangi produksi bahkan bisa menyebabkan gagal panen. Menurut Acu, Permasalahan pupuk tersebut terkait dengan ketersediaan/distribusi dan harga. Kalaupun ada seringkali harganya melambung.

"Meskipun pemerintah telah berupaya melalui sosialisasi pupuk organik, namun belum berhasil karena petani masih tetap mencari pupuk konvensional," ungkap Acu. Ia menilai adaptasi petani terhadap penggunaan pupuk organik masih butuh waktu dan sosialisasi yang lebih intensif.

Padahal, papar dia, pupuk organik ini selain untuk mengurangi ketergantungan terhadap pupuk kimia yang seringkali langka dan mahal, pupuk organik ini secara teknis merupakan solusi untuk mengatasi tingkat kejenuhan tanah.

Menurut dia, guna menekan biaya produksi pertanian, sebenarnya pemerintah telah berupaya diantaranya dengan mengalokasikan subsidi pupuk dan benih. "Namun menariknya Menteri Petanian Suswono dalam pernyataannya telah beberapa kali mengusulkan agar pemerintah mendatang berani mencabut subsidi pupuk untuk petani dengan alasan tidak efektif dan rawan penyimpangan," kata mantan direksi bank bjb itu.

Sebenarnya, tegas Acu, penyimpangan tersebut dapat diminimalisir apabila fungsi Komisi Pengawas Pendistribusian Pupuk (KP3) dapat berjalan optimal. Ia memaparkan, jika mencermati alokasi subsidi pupuk, sebenarnya bila dibandingkan dengan subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak) relatif kecil.

Sebagai contoh, kata dia, dalam struktur APBN tahun 2013, sebesar 57,41% subsidinya dipakai untuk subsidi BBM, dilain pihak subsidi pupuk dan benih hanya sebesar 5,15% dari total anggaran. "Meskipun demikian, harus diakui bahwa subsidi pupuk ini telah mengakibatkan disparitas harga yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan pupuk non subsidi," ungkap Acu.

Hal itu, lanjut dia, juga dapat mendorong adanya potensi penyimpangan distribusi yang tidak sesuai dengan alokasi. Sedangkan terkait distribusi pupuk, kata Acu, penyalurannya tidak dapat begitu saja dilakukan karena  telah adanya regulasi yang mengatur terkait waktu dan kuota yang telah disepakati.

"Untuk itu perlunya koordinasi secara intensif antara Kementerian Pertanian dan Kementerian BUMN untuk melakukan evaluasi dan monitoring secara aktif," cetusnya.

Acu menilai akibat kelangkaan pupuk berakibat kepada naiknya biaya produksi yang pada akhirnya mengurangi pendapatan tani. Untuk itu, ia menyarankan, apabila kedepan subsidi pupuk masih disediakan, maka faktor pengawasan distribusi perlu diperketat agar pupuk tersebut dapat disalurkan tepat sasasan.

Sehingga, kata dia, masalah distribusi pupuk tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. "Hal lain adalah perlu pula penyuluhan yang optimal kepada petani agar tidak terjadi penggunaan pupuk yang melebihi dosis yang dianjurkan."

Namun apabila subsidi dihilangkan, Acu menyarankan perlu ada insentif dalam bentuk lain yang tetap dapat menekan biaya produksi pertanian yang dapat menyentuh langsung kebutuhan petani.

"Dengan demikian produksi pertanian kita tidak hanya bisa memenuhi kebutuhan kecukupan dalam negeri tapi juga memiliki harga yang kompetitif. Hal lain adalah dapat memotivasi para petani dalam mendukung upaya mewujudkan kedaulatan pangan, sekaligus menyejahterakan petani melalui penekanan biaya produksi," tutur Acu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement