Kamis 02 Oct 2014 23:26 WIB

Ketua MITI: Di Indonesia tidak Ada Jaminan Gelar Phd di Indonesia Bisa Hidup Mapan

Penemu alat terapi kanker berbasis listrik statis, Warsito Purwo Taruno. (Republika/Rakhmawaty La'lang)
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Penemu alat terapi kanker berbasis listrik statis, Warsito Purwo Taruno. (Republika/Rakhmawaty La'lang)

REPUBLIKA.CO.ID, SERPONG -- Di negara-negara seperti Singapura, Malaysia, Thailand bahkan negara-negara maju lain seperti Jepang dan Amerika gelar PhD hal itu bisa menjadi jaminan memeroleh lapangan kerja yang mapan. Termasuk dengan tingkat kesejahteraan yang terjamin.

Persoalannya, jaminan seperti itu tak ada di Indonesia. Dengan gelar PhD dari universitas ternama di luar negeri sekalipun. Di Indonesia kita harus 'mati-matian' untuk bisa tetap hidup,’’ ungkap Ketua Umum Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) Dr Warsito P Taruno di Serpong, Kamis (2/10).

Warsito pun mengungkapkan pengalaman pribadi dalam mengembangkan usahanya dengan berbasis riset tomografi di CTech Labs. Meski sudah berkutat dalam fisika medis sejak 2005 di Universitas Indonesia, hasil riset Warsito masih belum diakui banyak pihak di Indonesia. Justru kalangan luar negeri memberi apresiasi atas riset tersebut.

‘’Jadi, untuk mencapai kondisi seperti sekarang, kita sudah habis-habisan. Tak sekedar modal nekat, bahkan gila, tapi juga sudah mengorbankan apa saja yang kita punyai,’’ papar pakar tomografi yang mengembangkan perangkat terapi kanker tersebut.

 

Ketiadaan dukungan dari pemerintah, tak membuat Warsito lemah. Justru lewat kerjasama dengan kalangan luar negeri yang mengenal karya-karyanya, sedikit demi sedikit persoalan pendanaan riset dan pengembangan produknya mulai teratasi. Bahkan, kini lewat publikasi jurnal dan konferensi internasional, banyak kalangan luar negeri meminta kerjasama aplikasi hasil riset dengan CTech Labs.

Karenanya, lanjut Warsito, riset yang digelutinya bias digolongkan dalam disruptive innovation, sebuah inovasi yang bersifat breakthrough, merupakan terobosan terhadap permasalahan besar yang sulit terpecahkan sebelumnya. Ia mengakui bila inovasi yang dilakukannya sering menimbulkan efek perubahan drastis terhadap kemapanan yang ada.

‘’Teknologi yang kita kembangkan baik untuk diagnosis dan terapi adalah berbasis low energy source non-radiasi, sementara teknologi dunia selama 100 tahun terakhir adalah berbasis radiasi dan high energy source, sehingga masuknya alternatif teknologi yang kita kembangkan sudah pasti akan berpengaruh pada kemapanan teknologi yang sudah ada selama puluhan hingga ratusan tahun,’’  jelas guru besar tamu pada King Abdul Aziz University, Arab Saudi ini.

Berkaca pada pengalamannya, Warsito menyarankan pemerintah untuk mencontoh Jepang. Tak hanya membantu dalam alokasi anggaran yang memadai pada riset-riset yang berorientasi ekonomi, namun juga menciptakan iklim yang kondusif dalam penerapan hasil-hasil riset. Di Jepang, kata Warsito, ada regulasi yang memudahkan teknologi baru masuk ke pasar. Ia member contoh tak perlunya izin bagi peralatan rumah tangga yang dijalankan dengan tenaga batere izin. Yang kedua untuk kasus penyakit-penyakit tertentu seperti kanker.

‘’Karena belum ada metode yang benar-benar efektif untuk menyembuhkan kanker, setiap individu mempunyai kebebasan untuk memilih metode apa saja yang dianggap membantu. Hanya saja, khusus untuk kanker ini harus dilakukan oleh dokter yang memiliki sertifikat menjalankan terapi non konvensional seperti melalui alat tomografi yang kita buat,’’ ujar Warsito dalam siaran persnya yang diterima ROL.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement