REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Susilo bambang Yudhoyono (SBY) diminta untuk mempertimbangkan kemungkinan Perppu Pilkada ditolak DPR. Sehingga SBY harus siapkan antisipasi kekosongan hukum.
Staf Ahli Kementerian Dalam Negeri Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Zudan Arif Fakrulloh mengatakan rencana Presiden SBY mengajukan Perppu Pilkada di DPRD harus mempertimbangkan respon DPR. Jika Perppu tersebut ditolak DPR, kemungkinan terburuk adalah terjadinya kekosongan hukum.
"Perppu itu bisa jadi hak subyektif presiden yang akan diobyektifkan oleh DPR. Bahayanya, kalau DPR menolak maka batal perppunya, kemudian terjadi kekosongan hukum," kata Zudan, di kantor Kemendagri, Jakarta, Rabu (1/10).
Perppu yang diajukan presiden secara otomatis mencabut UU Pilkada yang baru disahkan pada 26 September lalu. Jika perppu ditolak DPR, tidak ada pengaturan pelaksanaan pilkada yang baku. Karena UU nomor 32 tahun 2004 juga sudah dicabut saat UU Pilkada disahkan.
"Ini yang harus kita pikirkan bersama-sama dengan baik oleh ahli Pak Presiden. Harus dipikirkan betul implikasi hukumnya," ujar Zudan.
Sebelumnya, Presiden SBY mengatakan akan mengeluarkan Perppu terkait Undang-Undang Pilkada. Perppu itu akan dikeluarkan setelah ia menandatangani UU Pilkada.