REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA—Pembenahan yang dilakukan Direktur Utama PT KAI Ignatius Jonan terhadap operasional kereta commuter line rupanya dinilai tidak merata. Fasilitas penunjang seperti musholla di hampir semua stasiun justru tak terurus. Penambahan fasilitas bersegmen menengah ke atas malah digeber.
Keluhan tersebut disampaikan di berbagai linimassa, seperti yang dilakukan seorang mahasiswi asal Depok, Reny Anggraeni. Ia seringkali terlambat menunaikan kewajibannya sebagai seorang Muslim karena harus mengantri lama di musholla sempit Stasiun Manggarai bersama ribuan anak kereta lainnya.
Berikut kutipan dari blognya, http://rainyrens.tumblr.com/post/98233812405/surat-terbuka-untuk-kepala-stasiun-manggarai.
"Surat Terbuka Untuk Kepala Stasiun Manggarai"
Assalamu’alaykum pak/bu. Saya Reni Anggraeni. Mahasiswa. Muslimah. Pengguna setia commuter line. Manusia yang menghabiskan hampir 25 menit dari waktunya untuk mengantre agar bisa sholat maghrib di mushollah mini stasiun Manggarai. Saya seorang commuter juga. Berdomisili di Depok namun kuliah di Jakarta.
Saya yang selalu mengikuti perubahan kondisi fisik dari stasiun Manggarai. Mulai dari tahun 2012 saya mulai menjadi anak kereta. Pada saat itu pedagang kaki lima masih diperbolehkan untuk menjajakan dagangannya di dalam stasiun, peron pada khususnya.
Kondisi mushollah pada saat itu hanya seukuran kamar anak kost berbiaya Rp 300 ribu per bulan, dan itu pun dibagi dua antara laki-laki dan perempuannya serta di samping mushollah tersebut terdapat kamar mandi. Tidak layak sebenarnya jika bangunan itu dijadikan tempat sholat.
Setelah CEO PT. KAI yang bernama Jonan itu mengeluarkan kebijakan menggusur pedagang yang ada di stasiun hingga sapu bersih tanpa tanggungjawab. Stasiun Manggarai mulai berubah menjadi penampung mini market, seperti musholla-nya yang mini.
Beberapa bulan kemudian, Indomaret Point masih menjadi satu-satunya tumpuan untuk penumpang kereta membeli minum atau sekedar cemilan. Renovasi mulai terjadi di banyak sisi di stasiun Manggarai ini, dimulai dari pemindahan loket dan pintu masuk, kamar mandi hingga mushollah.
Jujur, saya senang sekali ketika mendengar mushollah di stasiun Manggarai ini sedang direnovasi. Ekspektasi saya, mushollah di stasiun Manggarai akan di tingkat dua atau minimal lebih luas dan mempunyai tempat wudhu yang layak. Harapan tinggallah harapan, mushollah di stasiun Manggarai tetaplah mini.
Hingga akhirnya kini, stasiun Manggarai layaknya mall setelah Indomaret berdiri, kemudian menyusul Seven Eleven, Roti O, KFC, dan yang teranyar Starbuck dan Q buble (maaf kalau tulisannya salah).
Pertanyaannya, bisakah pembangunan segala macam minimarket, tempat kopi atau apalah itu di stasiun Manggarai dihentikan? Apa gunanya ada Indomaret jika Sevel pun ada? Padahal sama-sama menjual minuman dan makanan ringan?
Apa gunanya Roti O, dan starbuck ada jika sama-sama menjual kopi dan roti? Padahal kopi dan roti itu kita bisa dapatkan di Indomaret ataupun Sevel? Apa gunanya KFC ada jika Sevel ada? Padahal sama-sama menjual nasi dan ayam goreng?
Kenapa pengelola stasiun Manggarai tidak memperhatikan pemugaran mushollahnya? Tahu kah kawan, stasiun Manggarai selalu dikunjungi oleh ratusan bahkan ribuan orang setiap maghribnya, entah itu yang mau pulang ke arah Bogor, Bekasi, Tangerang, Jatinegara ataupun Jakarta Kota.
Biasanya diantara ratusan bahkan ribuan manusia itu separuhnya akan menunaikan sholat Maghrib di mushollah mini tersebut. Dan kondisi dari mushollah itu sungguh tidak layak. Kalau dihitung mushollah tersebut hanya bisa menampung 20 orang saja. Sisanya masih harus mengantri giliran dengan yang lain.