REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menilai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi tidak pernah menarik diri dari pembahasan RUU Pilkada sehingga tidak dapat diterima jika menolak pengesahan RUU tersebut.
"Presiden SBY melalui Mendagri tidak pernah menarik diri, menyatakan ketidaksetujuan, ataupun mengajukan keberatan atas gagasan pilkada tidak langsung," kata Direktur Advokasi PSHK Ronald Rofriandri di Jakarta, Selasa.
Menurut Ronald, pernyataan kaget dan kecewa dari Presiden SBY atas hasil pengambilan keputusan RUU Pilkada dalam Rapat Paripurna DPR 25 September 2014 jelas tidak dapat diterima jika dilihat dari aspek tata cara dan prosedur pembahasan peraturan perundang-undangan.
Ronald mengatakan dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Mendagri adalah wakil pemerintah yang memegang Surat Presiden yang bertugas mewakili Presiden membahas RUU bersama Panitia Kerja Komisi I DPR RI yang ditugaskan membahas RUU Pilkada.
Ronald menjelaskan bahwa Mendagri juga mewakili Presiden SBY ketika mengajukan dua opsi RUU yang masing-masing memuat mekanisme pilkada langsung dan pilkada tidak langsung untuk dibahas lanjut di Pembicaraan Tingkat II DPR.
Dari hal itu dapat dilihat bahwa "Persetujuan Bersama" sebagaimana dimaksud Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 sesungguhnya sudah terjadi dan telah tercapai sejak Mendagri yang mewakili Presiden menyetujui untuk mengajukan dua opsi dan memasuki Pembicaraan Tingkat II di DPR.
"Apabila benar ada kesungguhan penolakan dari Presiden SBY, hal ini seharusnya disampaikan oleh Presiden SBY melalui Mendagri sebelum memasuki Pembicaraan Tingkat II di DPR. Presiden melalui Mendagri bisa menyatakan ketidaksetujuannya, menarik diri, dan menolak untuk melanjutkan ke Pembicaraan Tingkat II," kata Ronald.
Dalam menolak pengaturan pilkada tidak langsung, tambah Ronald, Presiden seharusnya menggunakan mekanisme dan tata cara formal yang ada, bukan dengan cara beropini di media sosial sementara wakil resminya mendukung dua opsi yang ada di DPR.
"Langkah menyatakan ketidaksetujuan dan menarik diri sebelum masuk ke Pembicaraan Tingkat II pernah dilakukan oleh Presiden SBY baru-baru ini pada pembahasan RUU Tabungan Perumahan Rakyat pada 23 September 2014," kata Ronald.
"Tindakan konsultasi Presiden SBY kepada Ketua Mahkamah Konstitusi juga telah mencederai prinsip independensi hakim yang diatur dalam Bangalore Principles of Judicial Conduct, acuan kode etik bagi hakim di seluruh dunia, termasuk hakim konstitusi," kata Ronald.