Ahad 28 Sep 2014 12:02 WIB

Kakek Umur 82 Tahun Pun Ikut Aksi Tolak UU Pilkada

Rep: C92/ Red: Bayu Hermawan
  Sejumlah aktivis dari Koalisi Kawal RUU Pilkada menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta, Rabu (24/9).  (Republika/Wihdan)
Sejumlah aktivis dari Koalisi Kawal RUU Pilkada menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta, Rabu (24/9). (Republika/Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Usia tidak menghalangi Sukiman Rekso Atmodjo, untuk ikut menolak pemilihan kepala daerah (Pilkada) dilaksanakan melalui DPRD. Kakek berumur 82 tahun itu pun ikut bersama ratusan aktivis dan masyarakat, yang menggelar aksi menolak UU Pilkada di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Ahad (28/9).

Dengan menggunakan topi caping untuk menghalangi panas yang menyengat, Sukirman terlihat antusias menolak UU Pilkada. Bahkan beberapa kali ia pun menyemangati aktivis dan masyarakat yang menggelar aksi damai tersebut.

"Ayo yang muda-muda jangan kalah sama kakek-kakek," kata dia lantang sembari berjalan di pinggiran Bundaran Hotel Indonesia (HI).

Kepada wartawan, Sukiman mengatakan dengan disahkannya UU Pilkada oleh DPR, suara dan kedaulatan rakyat Indonesia telah dirampas. Pengesahan itu juga dianggapnya telah mengobrak-abrik hak rakyat Indonesia untuk bersuara.

"Kemerdekaan diraih dengan kedaulatan rakyat, sekarang kedaulatan rakyat dirampas sama DPR. Nggak cocok," ujarnya.

Ia mengatakan, Pilkada harus kembali dijalankan dengan sistem pemilihan langsung. Ia mengaku seringkali melakukan penentangan terhadap sistem yang ia anggap tidak cocok. "Saya tahu UUD 1945 kok," tegasnya.

Selain Sukiman, ada pula Ahmad Roji yang juga menolak UU Pilkada. Pria asli Bekasi ini membawa fotokopi KTP dia dan istrinya untuk didaftarkan sebagai penggugat UU Pilkada ke MK.

Ahmad mengaku kecewa dengan keputusan DPR yang mengesahkan UU Pilkada dengan sistem pemilihan oleh DPRD. Artinya, menurut dia, reformasi yang telah diperjuangkan selama 16 tahun akhirnya musnah begitu saja oleh segelintir elit di DPR.

Ahmad mengaku ikut andil dalam perjuangan meloloskan sistem pilkada langsung. Di tahun 1998, ia pernah dipanggil polisi untuk dimintai keterangan karena menjadi koordinator lapangan aksi pemerintahan orde baru.

Bersama-sama pelajar, mahasiswa, buruh, dan masyarakat sipil, ia melakukan aksi-aksi menentang pemerintah hingga tegaknya demokrasi dengan adanya sistem pilkada langsung. Namun, ia merasa dengan adanya keputusan DPR ttg UU Pilkada Kamis kemarin, cita-cita yang ia bangun kandas begitu saja.

Ia mengatakan, dengan sistem pilkada langsung, rakyat Indonesia dapat merasakan minimal 4 keindahan. Pertama merasakan hak politik berupa hak memilih yang bisa diapresiasikan.

Kedua bisa menentukan sendiri pemimpin yang dikehendaki. Ketiga bisa menentukan nasib daerah sendiri melalui pemimpin yang dipilih sendiri. Dan yang keempat bisa melakukan kontrol dan mengawasi pemimpin yang dipilih.

"Dan itu saya aplikasikan 5 tahun setelahnya. Kalau bagus saya pilih lagi, kalau tidak saya tinggalkan," ujarnya.

Oleh karena itu, berbekal informasi dari internet, Ahmad pun sengaja datang ke Bundaran HI.  "Saya warga jakarta belum pernah kemari, saya sengaja datang karena ingin ikut aksi ini. Kalau ini kita perjuangkan buat anak cucu kita," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement