REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden terpilih Joko Widodo mengaku belum mengetahui soal pembekuan Pertamina Energy Trading Limited (Petral) seperti yang digaungkan Tim transisi. Menurut Jokowi, pembekuan Petral perlu kajian yang sangat matang.
"Saya belum tahu soal pembekuan Petral," kata Jokowi di Balai Kota, Jakarta, Rabu (24/9).
Gubernur DKI Jakarta ini juga mengaku belum mengetahui apakah Petral menyebabkan harga minyak tidak efisien. Yang diketahui Jokowi, Petral merupakan trading company milik Pertamina yang berada di Hong Kong dan Singapura.
"Apakah perusahaan (Petral) membuat harga minyak tidak efisien, itu tidak tahu. Karena menurut saya mafia migas hampir di semua titik ada," ucap Jokowi.
Jokowi memang menginginkan pemerintahannya nanti melakukan penghematan di sektor migas, namun untuk membekukan Petral tentunya harus melalui kajian yang matang. Bahkan Jokowi terkesan meragukan apakah dengan membekukan Petral dapat memangkas anggaran secara signifikan.
"Kajian pembekuan Petral akan membuat lebih efisien belum sampai ke saya. Belum tentu pembelian minyak melalui G2G ('government to government') lebih murah," imbuh Gubernur DKI Jakarta ini.
Wacana pembekuan Petral mencuat setelah Tim Transisi yakni Deputi bidang energi, Hasto Kristiyanto mengeluarkan pernyataan bahwa pembekuan Petral untuk memangkas jalur mafia migas dan menekan kerugian negara. Namun pernyataan Hasto kemudian dianulir oleh Tim Transisi.
Sebelumnya anggota anggota VII BPK RI, Bahrullah Akbar menilai wacana pembubaran Petral menunjukkan tak mampunya negeri ini mencari solusi untuk mengatasai masalah migas dan cenderung mencari 'Kambing Hitam' dari permasalahan pokok.
Menurut Bahrullah, seharusnya pemerintah kedepan melakukan perbaikan sistem lebih kepada level teratas, yakni terkait keberadaan ISC (Integrated Supply Chain) yang menjadi kontrol Petral. "Nah, itu harus diperbaiki. Karena Petral mendapat order dari ISC Pertamina. ISC Pertamina sebagai penanggung jawab dari Petral. ISC Pertamina yang menyiapkan rencana pembelian (minyak ekspor impor)," kata Bahrullah.