REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso mengatakan akan berupaya menghindari pengambilan keputusan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) dengan jalan voting. Priyo menyatakan akan berusaha mencari jalan tengah dari pihak-pihak yang berbeda pendapat soal pelaksanaan pilkada langsung maupun tidak langsung.
"Kebetulan sidang paripurna RUU Pilkada saya yang akan pimpin. Saya akan mengusahakan agar tidak voting," kata Priyo kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (23/9).
Priyo memperkirakan pengambilan keputusan RUU Pilkada akan berjalan alot. Ini karena di hari-hari terakhir Fraksi Partai Demokrat mengubah sikap dari mendukung pilkada tidak langsung melalui DPRD menjadi mendukung pilkada langsung.
"Memang perubahannya begitu dramatis. Kami sedang mencari solusi terbaik," ujarnya.
Politikus DPP Partai Golkar ini berpandangan pelaksanaan pilkada lebih baik dilakukan secara tidak langsung melalui DPRD. Dengan begitu pilkada akan mengefisienkan anggaran, menghindari gesekan di masyarakat, dan mengurangi biaya politik tinggi dari masing-masing calon kepala daerah.
"Memilih bupati, walikota melalui dprd bukan kemunduran demokrasi justru memperkuat demokrasi itu," kata Priyo.
Pilkada melalui DPRD tidak bertentangan dengan konstitusi UUD 1945. Priyo menyatakan konsitusi hanya mengamanatkan pemilihan langsung untuk menentukan presiden. Sedangkan pilkada boleh dilakukan secara demokratis. Arti kata demokratis menurut Priyo, pilkada bisa dilakukan lewat pemilihan di DPRD.
"Pilkada gubernur, bupati, walikota melalui DPRD menyederhanakan sistem demokrasi kita," ujarnya.
Priyo menolak apabila pilkada melalui DPRD dianggap akan melahirkan kepala daerah korup. Sebab menurutnya kepala daerah yang dilahirkan lewat pilkada langsung juga banyak yang terjerat kasus korupsi.
"Karena ternyata hasil disertasi Pak Mendagri (Gamawan Fauzi) pilkada langsung mempunyai masalah serius soal banyak bupati, walikota, gubernur yang terseret persoalan hukum," kata Priyo.