REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi (BPPT) memperhitungkan penghematan biaya pemilihan kepala daerah (pilkada) hingga 50 persen apabila menggunakan sistem pemungutan suara elektronik (e-voting).
"Mesin-mesin ini (alat e-voting) bisa bergantian digunakan di kabupaten. Bisa hemat biaya 50 persen, lumayan, berapa yang dihemat dari pilkada yang dilaksanakan lebih dari 400 kali," kata Direktur Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi (PTIK) BPPT Hamman Riza di Jakarta, Senin.
Menurut dia, penggunaan e-voting jika dilihat secara tanjibel maka biaya pilkada menjadi lebih murah. Sedangkan secara intanjibel maka kepercayaan masyarakat tumbuh atas proses pilkada itu karena proses yang akuntabel, cepat dan akurat.
Harapannya, penggunaan alat e-voting untuk pemilu akan mendorong penyediaannya oleh industri nasional, sekaligus membuka kesempatan industri dalam negeri.
Ia mengatakan, investasi yang dibutuhkan per unit e-voting minimal mencapai Rp10 juta. Namun ia meyakini jika produksi alat tersebut telah dilakukan secara massal maka harga akan lebih rendah.
"Untuk pemilihan kepala desa (pilkades) biasanya digunakan dua mesin e-voting saja. Sedangkan untuk tingkat nasional atau Pemilu diperkirakan dibutuhkan 550.000 alat e-voting," ujar dia.
Chief Engineer Reporting Program Pemilu Elektronik (e-voting) BPPT Faisol Ba'abdullah mengatakan, pemilihan jenis perangkat e-voting juga dapat mempengaruhi biaya investasi pelaksanaan pemungutan suara elektronik.
"Kalau India bisa tekan harga produksi alatnya jadi murah karena pakai perangkat Embedded EVM yang 'special request', produksi massal alat ini bisa menekan harga produksi. Kalau sistem Direct Record E-Voting (DRE) yang mengarah ke open standard, memang bisa saja jatuh lebih mahal," ujar dia.