Jumat 19 Sep 2014 14:16 WIB
Pilkada Lewat DPRD

Pengamat: Legitimasi Pilkada Langsung Lebih Tinggi

Aktivis dari Koalisi Kawal RUU Pilkada melakukan unjuk rasa menolak RUU Pilkada tidak langsung di depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (16/9). (Republika/ Wihdan).
Foto: Republika/ Wihdan
Aktivis dari Koalisi Kawal RUU Pilkada melakukan unjuk rasa menolak RUU Pilkada tidak langsung di depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (16/9). (Republika/ Wihdan).

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG-- Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) R. Siti Zuhro mengemukakan pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat tingkat legitimasinya lebih tinggi daripada melalui DPRD meski berpotensi terjadinya konflik sosial.

"Pemilihan kepala daerah tingkat provinsi secara langsung oleh rakyat mencerminkan perwujudan hak dan kedaulatan rakyat, partisipasi rakyat dalam pilkada, dan memperkuat legitimasi," katanya kepada Antara di Semarang, Jumat (19/9).

Siti mengatakan hal itu ketika menjawab pertanyaan mengenai kelemahan dan keunggulan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada), baik secara langsung oleh rakyat maupun melalui DPRD. Ia lantas menyebutkan sejumlah keunggulan pilkada langsung lainnya, yakni mendekatkan hubungan antara pemimpin dan rakyat, pendidikan politik rakyat, melembagakan proses pendalaman demokrasi, serta menjamin terpilihnya pemimpin yang kapabel dan akseptabel.

Adapun kelemahannya pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat, lanjutnya, terjadinya politisasi birokrasi, biaya tinggi, rawan konflik, dan belum siapnya pranata demokrasi, di samping menimbulkan problematik dalam pelaksanaan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.

Sementara itu, pemilihan gubernur melalui perwakilan, menurut Prof. Wiwieq, keunggulannya adalah lebih sederhana dan efisien serta mengurangi potensi konflik sosial, di samping dapat menciptakan pola relasi kepala daerah dan DPRD yang relatif harmonis.

Dosen tetap pada Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Riau itu juga menyebutkan sejumlah kelemahan pilkada melalui perwakilan, antara lain mereduksi proses demokratisasi lokal dan mendorong penguatan oligarki dan politik uang di DPRD.

Mengenai makna otonomi daerah terkait dengan revisi undang-undang tersebut, pakar otonomi daerah ini mengatakan bahwa revisi terhadap UU itu akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemerintahan nasional (dekonsentrasi), di samping aktualisasi reperesentasi kepentingan lokal (devolusi).

Adapun tujuannya pilkada ini, tambahnya, memilih pemimpin yang kapabel secara demokratis, memperdalam proses demokrasi (deepening democracy) di Indonesia, dan mendekatkan hubungan pemimpin dan rakyat.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement