Senin 15 Sep 2014 03:21 WIB

Pilkada Langsung Belum Didukung Mental Berdemokrasi yang Matang

Aktivis yang tergabung dalam Koalisi Kawal RUU Pilkada melakukan aksi tolak RUU Pilkada di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Ahad (14/9).  (Republika/ Tahta Aidilla)
Aktivis yang tergabung dalam Koalisi Kawal RUU Pilkada melakukan aksi tolak RUU Pilkada di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Ahad (14/9). (Republika/ Tahta Aidilla)

REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Pembahasan rancangan undang-undang pemilihan kepala daerah (RUU Pilkada) tengah menjadi perhatian. Pro dan kontra pun muncul terkait wacana perubahan sistem pelaksanaan Pilkada dari secara langsung, menjadi kembali melalui DPRD.

Akademisi dari Universitas Nusa Cendana Kupang, Karolus Kopong Medang menilai sebenarnya wajar jika Pilkada di kembalikan melalui DPRD. Sebab ia melihat saat ini mental dan sikap konstituen dalam berdemokrasi belum matang, sehingga belum terlalu mendukung pelaksanaan Pilkada secara langsung.

"Persoalan mendasar adalah rakyat hidup di tengah demokratisasi yang mulai terbuka lebar pasca Orde Baru yang kemudian diiringi oleh kebebasan partisipasi yang luar biasa. Tetapi belum diiringi oleh kematangan mental dan sikap dalam berdemokrasi," katanya di Kupang.

Ia melanjutkan, jika kebebasan berpolitik tidak ditopang oleh rasionalitas, daya kritis, dan kemandirian berpikir serta bersikap, maka hal itu justru bisa menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat karena tidak siap menang dan siap kalah.

Padahal menurutnya, nilai utama yang diusung oleh demokrasi adalah terbukanya ruang-ruang politik rasional dalam diri setiap rakyat. Kebebasan yang tidak didasari oleh rasionalitas politik akhir-akhir ini sangat nampak dalam upaya penguatan kekuasaan pada aras politik lokal.

"Peluang konflik politik dalam perebutan kekuasaan akan meningkat seiring ditetapkannya mekanisme Pilkada secara langsung mulai tahun 2005. Di tengah belum menguatnya kesadaran politik di level 'grass root' atau akar rumput, maka momentum Pilkada menjadi pertarungan politik yang selalu membuka ruang potensi konflik, manipulasi, 'money politics' dan intimidasi," katanya.

Karolus mengatakan, dalam konteks penguatan demokratisasi, Pilkada langsung sebenarnya berpeluang untuk melakukan pematangan dan penyadaran berdemokrasi bagi peserta Pilkada maupun pendukung dan pemilih secara keseluruhan.

"Rakyat yang memiliki kesadaran berdemokrasi adalah langkah awal dalam menuju lajur demokrasi yang benar," ujarnya.

Menurutnya tantangan mendesak saat ini adalah menjadikan pilkada sebagai bentuk artikulasi politik rakyat yang rasional dan kritis atau mengembalikan sistem dan mekanisme ke DPRD lewat UU baru.

"Inilah sesungguhnya esensi dari partisipasi politik rakyat. Karena harus diakui bahwa selama proses Pilkada masih didominasi oleh elit-elit partai politik yang bermental menyimpang, maka selama itu pula rakyat akan merasakan Pilkada sebagai eforia semata," ujarnya.

Selain itu, Pilkada akan menjadi eforia ketika praktik manipulasi, 'money politics' dan kekerasan politik masih berlangsung. Sementara pada sisi lain, katanya Pemilihan umum menjadi salah satu indikator stabil dan dinamisnya demokratisasi suatu bangsa.

"Sejatinya agenda ke depan bangsa ini tidak bisa lepas dari upaya penguatan, partisipasi dan kemandirian rakyat lewat proses-proses yang demokratik," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement