Jumat 12 Sep 2014 23:12 WIB

BNPP: Masyarakat Perbatasan 'Pagar Hidup' NKRI

  Sejumlah pasukan TNI AD Yonif Linud 433 Kostrad berbaris saat mengikuti upacara pelepasan pasukan penjaga perbatasan di Dermaga Lantamal VI Makassar, Sulsel, Jumat (15/8).(Antara/Yusran Uccang)
Sejumlah pasukan TNI AD Yonif Linud 433 Kostrad berbaris saat mengikuti upacara pelepasan pasukan penjaga perbatasan di Dermaga Lantamal VI Makassar, Sulsel, Jumat (15/8).(Antara/Yusran Uccang)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asisten Deputi Pengelolaan Potensi Kawasan Perbatasan Darat, Badan Nasional Pengelola Perbatasan, Marhaban Ibrahim, menilai warga perbatasan merupakan "pagar hidup" wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

"Masyarakat perbatasan merupakan 'pagar hidupnya' negara di tapal batas, mereka lahir di situ meninggal di situ, bisa dikatakan 'living safety belt' (sabuk pengaman hidup) sebagai penyangga," kata Marhaban dalam diskusi di Jakarta, Jumat (12/9).

Karena itu, dia mengatakan, keberadaan mereka sangat penting bagi bangsa ini dalam menjaga dan memelihara tegaknya kedaulatan wilayah NKRI.

Untuk itu, lanjut dia, perlu adanya perhatian khusus kepada mereka, jangan sampai aspek sosial budaya masyarakat perbatasan hilang.

Seperti peristiwa tragis lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan kepada Malaysia melalui keputusan Mahkamah Internasional, melalui keputusan Den Haag, Belanda pada 2002, memperlihatkan bahwa dua dari syarat yang diperlukan dalam memutuskan sengketa adalah aspek sosial budaya masyarakat perbatasan negara.

"Bayangkan jika tidak diperhatikan, satu keluarga pindah kewarganegaraan, pasti terjadi konflik batin," katanya.

Marhaban mengatakan hilangnya kedua pulau kekayaan Indonesia itu memberikan pelajaran bahwa baik nilai kesenian dan ekonomi memberikan peranan strategis di wilayah perbatasan.

"Dari perspektif sosio-kultural, nilai sosial budaya memainkan peranan sangat penting bagi kedua masyarakat perbatasan yang berasal dari rumpun yang sama," katanya.

Hal itu, lanjut dia, menjadi semakin lebih penting ketika perbatasan negara dilihat dari perspektif "frontier" atau zona sosial di mana kedua masyarakat bangsa yang berbeda, namun berasal dari rumpun etnis yang sama hidup berdampingan dan berinteraksi satu sama lain tanpa batas dan garis pemisah.

Namun, dia menilai, bukan hanya dari aspek budaya saja, tetapi sudut pandang kebijakan politik, hukum internasional juga harus bersinergi.

Marhaban mengatakan permasalahan wilayah perbatasan bukan hanya tanggung jawab satu atau dua kementerian, melainkan 14 kementerian lembaga yang berada dalam pengawasannya.

Dia mengakui, dalam implementasinya masih ditemukan adanya ego sektoral dan tidak bersinergi.

"Pasti ada lah lubang-lubang yang harus ditambal," katanya.

Karena itu, dia mengimbau masing-masing kementerian dan lembaga harus besinergi karena persoalan wilayah perbatasan tidak bisa diselesaikan dengan cara sendiri-sendiri.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement