Kamis 11 Sep 2014 13:21 WIB
Pilkada Lewat DPRD

Penolakan Pilkada Langsung Langkah Mundur Demokrasi di Indonesia

Sejumlah anggota DPR mengikuti Rapat Paripurna di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta.
Foto: Republika/Agung Supriyanto/ca
Sejumlah anggota DPR mengikuti Rapat Paripurna di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG - - Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Nusa Tenggara Timur, Norbert Jegalus menilai pelaksanaan Pilkada melalui DPRD adalah suatu langkah mundur bagi demokrasi di Indonesia.

"Pilkada kembali melalui para wakil rakyat di DPRD berarti demokrasi kita berlangkah mundur, bahkan kalau mau jujur sesungguhnya ini sebuah kegagalan kita dalam membangun demokrasi," katanya di Kupang, Kamis (11/9).

Norbert meminta agar seluruh masyarakat lebih peduli terhadap demokrasi di Indonesia, dengan mengkritisi setiap argumentasi para penolak Pilkada langsung di DPR.

Menurutnya sikap kritis terhadap para penolak pilkada langsung ini penting karena argumentasi-argumentasi yang dibangun seolah-olah sangat rasional, dan harus diterima oleh seluruh elemen masyarakat bangsa ini.

Ia menegaskan, penolakan Pilkada langsung dengan alasan untuk menghemat biaya hal itu tidak bisa diterima. Sebab Pilkada langsung tidak bisa hanya dilihat dari sisi pembiayaan semata.

"Membangun demokrasi memang membutuhkan biaya yang mahal, tetapi apakah karena mahal lalu mengabaikan partisipasi masyarakat untuk memilih sendiri pemimpin mereka?" ucapnya.

Dalam kaitan ini, dia menyarankan agar para pimpinan partai politik berpikir lebih matang sebelum pengambilan keputusan final.

Pandangan yang hampir sama disampaikan Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang Dr Ahmad Atang berpendapat, upaya mengembalikan pelaksanaan pilkada kepada DPRD, merupakan sebuah langkah mundur dalam berdemokrasi dan pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat.

Menurutnya logika menghapus pilkada langsung karena besarnya biaya dalam proses pilkada, terlalu murah. Jika membangun demokrasi dengan uang sebagai ukuran mungkin terlampau besar, tapi jika dalam kacamata politik maka uang bukan satu-satu sarana dalam berdemokrasi.

"Kita tidak menutup mata bahwa ada ekses dan eskalasi dari praktik pilkada, namun hal ini harus dilihat sebagai dinamika politik lokal, bukan kegagalan tetapi proses menuju kualitas dan kematangan demokrasi," katanya.

Ia menambahkan yang terpenting adalah bagaimana semua elemen bangsa ini, menyumbangkan pikiran untuk perbaikan sistem bukan malah menghapusnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement