Kamis 11 Sep 2014 12:27 WIB

ICW Desak Pemerintah Batalkan Pembebasan Bersyarat Koruptor

Rep: Adi Wicaksono/ Red: Mansyur Faqih
 Terpidana kasus suap kepengurusan hak guna lahan di Buol, Hartati Murdaya menjalani persidangan dengan agenda pembacaan vonis terhadap dirinya di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (4/2). (Republika/Yasin Habibi)
Terpidana kasus suap kepengurusan hak guna lahan di Buol, Hartati Murdaya menjalani persidangan dengan agenda pembacaan vonis terhadap dirinya di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (4/2). (Republika/Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak kemenkumham untuk segera membatalkan pembebasan bersyarat bagi sejumlah narapidana korupsi. Menurut lembaga pegiat antikorupsi itu, pembebasan bersyarat bagi koruptor tidak memenuhi syarat yang berlaku. 

Kordinator Bidang Hukum ICW Emerson Yuntho mengatakan, alasan kemenkumham yang menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terlambat dalam membalas surat permohonan rekomendasi pembebasan bersyarat terlalu mengada-ada. 

Menurut dia, semestinya kemenkumham tak perlu mengirimkan surat permohonan tersebut. Karena sejak awal para narapidana korupsi yang direkomendasikan bukan justice collaborator. "Itu alasan yang diada-adakan," kata dia saat dihubungi, Kamis (11/9).

Menurut Emerson, langkah KPK yang baru membalas surat permohonan rekomendasi sebulan berselang tidak melanggar PP Nomor 99/2012. Dalam peraturan tersebut disebutkan, tenggat waktu pemberian jawaban maksimal 12 hari. "Aturan itu kan untuk kejaksaan bukan untuk KPK," paparnya. 

Emerson menambahkan, semestinya kemenkumham tidak hanya melihat pada aspek administratif bahwa para narapidana telah menjalani 2/3 masa tahanan. Namun, yang harus jadi landasan adalah aspek substasi bahwa para narapidana bukan berstatus justice collaborator. 

KPK mengakui pernah menerima surat permohonan rekomendasi pembebasan bersyarat bagi lima terpidana korupsi. Lima terpidana tersebut adalah Hartati Murdaya, Sumartono, Agung Purno Sarjono, I Nyoman Suisnaya, dan Fahd El Fouz. Surat tersebut diterima pada 12 Agustus 2014. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement