REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Didik Supriyanto mengatakan terdapat enam Undang-Undang pemilu yang berkontradiki, tumpang tindih serta memiliki kekosongan hukum.
Maka, ke depan, Perludem merekomendasikan UU pemilu disatukan, untuk menghilangkan duplikasi, tumpang tindih, kekosongan hukum sehingga aturan hukum pemilu lebih komperhensif.
"Semua UU pemilu disatukan agar komperhensif," ujar Didik Supriyanto dalam acara diskusi publik "Rekomendasi Perbaikan Penyelenggaraan Pemilu" di Redtop Hotel, Senin (25/8).
Selain itu, ia menuturkan UU pilkada perlu disatukan dengan UU pemilu presiden dan UU pemilu legislatif atau dikodifikasi atau UU pemilu diubah dalam satu Undang-undang. "Dengan cara itu bisa lebih komperhensif," katanya.
Menurutnya, UU pemilu yang digunakan dalam pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden 2014 terdapat terdapat kontradiksi, kekosongan hukum dan tumpang tindih.
Didik mencatat dalam pelaksanaan pemilu presiden 2014 terdapat banyak persoalan diantaranya mengenai DPK dan DPKTb yang tidak diatur dalam UU No 42 Tahun 2008 tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden.
Selain itu, rekapitulasi di tingkat PPS tidak diatur dalam UU No 42 tahun 2008. Serta, TNI/Polri yang tidak ikut pemilu 2009 pada tahun 2014 tidak memiliki landasan hukum. KPU menggunakan UU No 8 tahun 2012 tentang pemilihan legislatif untuk aturan mengenai keikutsertaan TNI/Polri.
Serta, metode pemberian suara dimana metode mencontreng di UU No 42. Sementara, mencoblos di UU 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. "Tidak ada standar metode pemberian suara," ungkapnya.
Ia pun mengatakan dalam pemilu, Sentra penegakan hukum terpadu dan majelis khusus tindak pidana diatur UU No 8 tahun 2012 namun tidak diatur dalam UU No 42 tahun 2008. Serta, prinsip dan metode pembentukan daerah pemilihan ulang tidak diatur dalam UU No 8 tahun 2012.
Selain itu, tugas dan wewenang penyelenggara pemilu sudah ada di UU No 15 no 2011 tentang penyelenggara pemilihan umum. Akan tetapi diduplikasi di UU pemilu yang lain. Ia pun mengatakan tidak logis jika ada dua UU pemilu legislatif dan presiden padahal putusan MK no 14 tentang pileg dan pilpres pada 2019 mengatakan dilaksanakan serentak.