REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) resmi mendaftarkan gugatan Undang-Undang MPR, DPR,DPD, DPRD (UU MD3) No 17 Tahun 2014 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menggugat pasal 84 yang membahas tentang pimpinan DPR yang dipilih secara voting.
Sebelumnya, pada UU 27/2009, pimpinan DPR dipilih berdasarkan partai politik yang mendapatkan suara terbanyak pertama di DPR.
Pengamat Hukum Tata Negara, Margarito Kamis menilai, secara normatif peluang dikabulkannya gugatan PDIP tentang UUD M3 oleh Mahkamah Konstitusi sangat kecil. Pasalnya, setiap anggota DPR secara konstitusional berhak dipilih menjadi ketua DPR.
“Berdasarkan teks UUD, peluangnya kecil. Setiap anggota secara konstitusional berhak dipilih menjadi ketua DPR,” ujar pengamat hukum tata negara, Margarito Kamis saat dihubungi Republika, Ahad (24/8).
Margarito mengatakan dalam UUD tidak ada pasal yang mengatur bahwa ketua DPR harus diisi oleh partai politik yang memenangkan pemilu. Secara konstitusional, ia menuturkan jabatan pimpinan DPR bukan jabatan yang harus diisi oleh partai politik yang memenangkan pemilu.
“Saya berpendapat, jabatan ini tidak bisa direduksi hanya diberikan kepada parpol pemenang pemilu. UUD mengatur (anggota) berhak dipilih,” ungkapnya.
Namun, menurutnya, di sisi lain, MK mempunyai cara pandang tersendiri yang berubah-ubah dalam memutuskan perkara. Termasuk, jika berbicara sisi sosiologis maka akan menjadi berbeda. “MK tidak berdiri dalam perspektif (yang) khusus tapi berubah,” katanya.
Sehingga, Margarito mengatakan agak sulit melihat apakah MK akan mengabulkan atau menolak gugatan tersebut. Pasalnya, MK mempunyai cara pandang tersendiri termasuk sering kali mereka melihat dari sudut manfaat hukum.