Rabu 27 Jul 2016 15:24 WIB

Rizal Ramli Diganti Setelah Hentikan Reklamasi

Rep: Qommaria Rostanti/ Red: Achmad Syalaby
Rizal Ramli (Ilustrasi)
Foto: Republika/Da'an Yahya
Rizal Ramli (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Reshuffle Kabinet Kerja jilid II dinilai mengakomodasi kepentingan politik karena kental dengan nuansa pragmatis. Ini terlihat dari beberapa nama yang 'terpental' dari kursi menteri di luar dugaan, misalnya saja Rizam Ramli dan Anies Baswedan.

"Sulit menyebut keduanya keluar karena kinerja, khususnya Rizal Ramli. Peranannya dalam setahun terakhir cukup menonjol," kata Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti kepada Republika.co.id, Rabu (27/7).

Bahkan, kata dia, pada tingkat tertentu, Rizal telah menyelamatkan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dari kesulitan politik. Ray mencontohkan, soal blok Masela. Debat opini soal apakah blok tersebut dikelola lewat metode off atau on shore akhirnya selesai dengan ditetapkannya keputusan sesuai dengan pandangan-pandangan Rizal.

Situasi yang sama terjadi dalam kasus reklamasi Teluk Jakarta. Rizal telah menghentikan proyek tersebut meski mendapat tantangan dari Gubernur Basuki Tjahaja Purnama. "Rizal menyelesaikan masalah reklamasi dengan tepat dan pada akhirnya menyelesaikan pro-kontra panas izin reklamasi," ujarnya. Dalam dua kasus itu, Ray menilai Rizal mampu melakukan tugasnya dengan baik. 

Debat opini antara Rizal dengan Sudrman Said dinilai tidak cukup alasan untuk me-reshuffle mereka. Ray menyebut kalau soal izin reklamasi Pulau G yang menjadi faktor, tentu itu tidak sebanding dengan kinerja sebelumnya. Lebih-lebih, kata dia, tindakan penghentian izin reklamasi itu dilakukan dengan dasar-dasar  pertimbangan yang cukup dan solid. "Jadi penggantian Rizal ini seperti dipaksakan. Faktornya bukan kinerja," ujarnya.

Ray mengatakan kalau memang pertimbangannya berdasarkan kinerja, maka Amran Sulaiman dan Puan Maharani lebih tepat diganti. Sebaliknya, pergantian Rizal, Anies, dan Jonan, semata karena kepentingan akomodasi dan pragmatisme politik. "Ketiga orang ini tak memiliki partai, pun tak punya kekuatan melakukan penggalan dukungan politik. Peminggiran mereka menunjukan bahwa Jokowi masuk lebid dalam ke pelukan parpol," kata Ray.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement