REPUBLIKA.CO.ID, SEMANGGI -- Ketua Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), Nico Harjanto, dan Dewan Etik Persepi, Hamdi Muluk, pada Kamis (14/8) memenuhi panggilan penyidik dari di Subdit Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya.
Keduanya diperiksa sebagai saksi ahli atas laporan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Jakarta, yang melaporkan empat lembaga survei ke kepolisian.
Keempat lembaga tersebut adalah Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), Lembaga Survei Nasional (LSN), Indonesia Research Center (IRC), dan Jaringan Suara Indonesia (JSI), yang dianggap mengeluarkan hasil quick count asal-asalan dengan memenangkan pasangan Prabowo Subianto - Hatta Rajasa.
"(Penyidik) mau bertanya seluk-beluk quick count seperti apa, proses yang pernah kita lakukan. Supaya kepolisian punya pemahaman dalam menyelidiki kasus laporan PBHI," kata Hamdi di Mapolda Metro Jaya, Kamis (14/8).
Dikatakannya, sangat banyak memang lembaga survei yang melakukan hitung cepat, adapula yang berbeda sampling atau metodologi. Namun jika ada lembaga survei yang dikategorikan melakukan hal-hal yang merugikan bisa dianggap sebagai kriminal.
Sehingga hasil hitung cepat jika memang berbeda, harus diuji terlebih dahulu kebenarannya sebelum diutarakan ke publik. "Survei merupakan opini publik dan berbeda secara prinsip dengan hitung cepat, survei sebatas pendapat subjektif," ujar Hamdi.
Menurutnya, hitung cepat haruslah objektif karena yang dihitung merupakan hasil dari surat suara yang dipilih oleh masyarakat. Saat melakukan hitung cepat, lembaga survei harus melakukan proses ilmiah untuk membuat estimasi.
"Hitung cepat tak boleh disalahgunakan karena menyangkut hajat orang banyak," tutur Hamdi.