REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Aksi kekerasan kelompok bersenjata di Papua yang menewaskan dua prajurit polisi, Senin (28/7), dikomentari beragam oleh pengamat. Ketua Pusat Studi Keamanan dan Politik (PSPK) Universitas Padjajaran (Unpad) Muradi berpendapat, dalam kasus tersebut, negara telah mengorbankan para peronel kepolisian.
Menurut Muradi, negara belum tuntas melihat konflik di Papua, apakah aksi kriminal biasa atau tindakan separatisme. Muradi menjelaskan, karena selama ini negara hanya menganggap itu gangguan keamanan biasa, bukan acaman disintegrasi, penanganan hanya menjadi domain kepolisian, bukan ranah militer.
“Polisi dan tentara sebenarnya tahu apa ancaman, siapa yang mengancam. Tapi karena negara belum /clrear/ polisi dan tentara juga masih ragu, mereka tidak ingin dianggap melanggar HAM dan mendapat kecaman dunia karena dianggap menggunakan pendekatan kekerasan,” ujar Muradi, dihubungi Selasa (29/7).
Muradi berpandangan, aksi kekerasan kuat dugaan dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Menurut dia, OPM sudah jelas merupakan separatis, seperti terlihat dari upaya kelompok tersebut menggalang pengakuan internasional.
“Sejak awal saya bilang, negara harus tegas, negara harus menegaskan bahwa OPM adalah separatis. Institusi keamanan tidak bisa dikorbankan. Polisi jangan dikorbankan,” ujar Muradi.