REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kehutanan (Kemenhut) akan membantu pelaku usaha kecil menengah (UKM) sektor kehutanan menerapkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dengan mengalokasikan anggaran sebesar Rp3 miliar pada 2014.
Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan di Jakarta, Jumat, menyatakan selama ini pelaku UKM merasa keberatan dengan kebijakan pemerintah menerapkan SVLK bagi produk kehutanan dengan alasan biaya terlalu besar untuk industri skala kecil menengah.
"Ada dana APBN yang dialokasikan untuk membiayai UKM menerapkan SVLK, jadi mereka tak perlu khawatir lagi," kata Menhut di sela buka puasa bersama jajaran Kementerian Kehutanan serta pemangku kepentingan sektor kehutanan.
Menhut menyatakan untuk mendapatkan bantuan tersebut industri UKM harus membentuk kelembagaan seperti koperasi sehingga nantinya lebih memudahkan dalam penyalurannya.
Menurut dia, nantinya bantuan tersebut langsung disalurkan ke lembaga atau koperasi tersebut bukan UKM satu per satu.
"Dengan bantuan ini nantinya penerapan SVLK tidak lagi menjadi hambatan untuk UKM," katanya.
Sementara itu menanggapi industri dalam negeri yang lebih memilih memilih menggunakan skema sertifikasi yang dikembangkan oleh organisasi asing kehutanan daripada SVLK sebagai acuan pembelian produk, Zulkifli menyatakan, pihaknya akan terus menyosialisasikan SVLK.
"Penerapan SVLK ini tidak bisa dipaksakan tapi kami akan terus melakukan sosialisasi kepada mereka," katanya.
Sebelumnya Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia mengungkapkan sejumlah industri mengabaikan SVLK sebagai acuan pembelian produk meskipun SVLK dinilai mendapat apresiasi tinggi secara global.
Wakil Ketua Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), Rusli Tan mengatakan konsumen lebih memilih menggunakan skema sertifikasi yang dikembangkan oleh organisasi asing kehutanan sebagai acuan pembelian produk.
"Ada BUMN besar, ada juga produsen kebutuhan rumah tangga raksasa yang tak mau menggunakan produk yang telah dilengkapi SVLK.
Mereka hanya mau menggunakan produk yang memiliki sertifikat dari pihak asing," katanya.
Menurut dia, hal itu adalah sebuah sikap tidak menghormati SVLK, yang sebenarnya telah dikembangkan secara multipihak, transparan dan akuntabel.
"Pemerintah seharusnya memaksa industri konsumen di tanah air menjadikan SVLK sebagai satu-satunya acuan pembelian produk kehutanan. Kalau mereka tidak mau, itu melecehkan SVLK," kata Rusli.
Sementera itu Menhut menambahkan, selain melalui sosialisasi, pihaknya juga telah menerapkan kebijakan produk yang ber-SVLK terhadap tender-tender di lingkungan pemerintah.
"Kesadaran (menerapkan SVLK) memang tidak bisa datang secara tiba-tiba tapi harus dibentuk pelan-pelan secara intensif," katanya.