Selasa 01 Jul 2014 19:28 WIB

Pengamat: Vonis Akil Sudah Sesuai

Rep: c75/ Red: Bilal Ramadhan
 Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar menjalani sidang pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (30/6). (Republika/Agung Supriyanto)
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar menjalani sidang pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (30/6). (Republika/Agung Supriyanto)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pengamat Tata Negara, Refly Harun mengatakan Akil Mochtar memenuhi syarat untuk dihukum maksimal. Hukuman seumur hidup berdasarkan Undang-Undang merupakan hukuman maksimal.

“Saya kira pak Akil memenuhi segala syarat untuk dihukum maksimal. Alasan hukuman maksimal hukuman mati misalnya maka sesungguhnya itu pun memenuhi syarat,” ujar Pengamat Tata Negara, Refly Harun, Selasa (1/7).

Ia menuturkan pertama, Akil memenuhi syarat untuk dihukum seumur hidup karena dia (Akil) adalah petinggi hukum yang seharusnya memberikan contoh. Selain itu, kedua, perbuatannya meruntuhkan kepercayaan publik terhadap institusi hukum.

Ketiga, dengan adanya putusan yang bisa diputar balik oleh dia, maka sesungguhnya telah banyak merugikan keuangan negara. “Tidak hanya dari segi biaya tapi segi pembangunan demokrasi kita. Yang menang menjadi kalah yang kalah jadi menang,” ungkapnya.

Refly mencontohkan seperti di Palembang, dimana yang kalah dimenangkan sementara yang menang dikalahkan oleh MK. Dan kini telah menjadi tersangka beserta istrinya. Ia menambahkan, di beberapa UU seperti UU pemilu, jika pelanggaran dilakukan oleh penyelenggara sendiri, maka hukuman akan ditambah 1/3.

“Jadi hukuman bagi penyelenggara negara yang melakukan tindak pidana korupsi apalagi dia institusi hukum tertinggi, itu harus jauh lebih berat dibandingkan dengan orang biasa yang melakukan tindakan sama,” jelasnya.

Selain itu, menurutnya, dalam persidangan Akil sama sekali tidak menunjukkan penyesalan. Meski pada faktanya, dia mengakui meminta uang. Hanya yang dia tidak akui itu bukan uang Negara. Refly mengatakan memang itu bukan uang negara akan tetapi akibat dari dampaknya itu justru merugikan tidak hanya materil tapi moril.

Menurutnya, hal itu justru menjadi multiplayer effect. Karena akan menggiring kepala daerah melakukan korupsi secara berulang yang memakan biaya sampai puluhan milliard. “Perbuatannya jauh lebih ganas dibandingkan direct corruption. Ini dampaknya sangat berantai,” katanya.

[removed][removed] [removed][removed]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement