REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada, Faris Fachry memberikan apresiasi atas putusan seumur hidup yang dijatuhkan majelis hakim terhadap Akil Mochtar dengan hukuman seumur hidup.
Meski demikikan pihaknya masih memberikan beberapa catatan yang belum diterapkan hakim di antaranya terkait uang pengganti, denda, serta pencabutan hak politik terhadap mantan ketua MK itu.
"Karena selain hukuman pidana penjara, kita juga komitmen terkait pemiskinan koruptor. Ini yang menjadi catatan kami bahwa hal tersebut tidak diakomodir dalam putusan hakim," kata Faris saat dihubungi Republika Online (ROL), Selasa (1/7).
Menurut dia, pantas sekali jika koruptor itu dalam vonisnya dimiskinkan dengan menjatuhkan hukuman pidana denda. "Agar dirasakan sebagai suatu kerugian. Ini menjadi perhatian kami. Walaupun hakim menjatuhkan hukuman seumur hidup, tapi penting tetap menjatuhkan pidana denda," sarannya.
Dalam sidang putusan, majelis hakim tidak memberikan denda pidana terhadap Akil. Menurut hakim, hukuman badan berupa seumur hidup dianggap mewakili pidana denda.
Menanggapi hal itu, Faris menilai bahwa, pidana denda dengan pencucian uang adalah hal yang berbeda. Maka dalam hal ini kata dia, sangat penting hakim mempertimbangkan dalam putusan banding. "Karena Akil kan katanya banding. Untuk itu majelis hakim juga menjatuhkan hal tersebut, agar memberi efek jera yang seberat-beratnya," katanya.