REPUBLIKA.CO.ID, LOMBOK BARAT -- Ratusan warga Dusun Duduk, Desa Batulayar Barat, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang menjadi korban ekskusi tanah sengketa mengancam golput pada pilpres 9 Juli 2014.
"Kami kecewa terhadap pemerintah, karena itu kami sudah bersepakat. Sekian warga wajib pilih akan golput. Warga Dusun Duduk ini tidak pilih presiden," kata tokoh masyarakat Dusun Duduk, Junaidi di Lombok Barat, Minggu.
Sebelumnya, 47 kepala keluarga (KK) atau 123 jiwa warga Dusun Duduk, Desa Batulayar Barat, Kabupaten Lombok Barat, terpaksa mengungsi. Karena rumah mereka dihancurkan tim juru sita dari Pengadilan Negeri Mataram (24/6).
Lahan yang mereka tempati merupakan milik I Made Krasta. Yaitu pihak pemohon yang memenangkan perkara gugatan atas tanah seluas 32 hektare.
Eksekusi lahan itu mendapat perhatian dari sejumlah wisatawan asing. Karena lokasi sengketa tanah masuk dalam kawasan wisata Senggigi.
Junaidi menegaskan, akan golput pada seluruh jenis kegiatan pemlihan. Mulai dari pemilihan kepala desa hingga kepala daerah.
"Tidak ada artinya memilih pemerintah. Cukup ini pembelajaran bagi kami. Cukup sudah kami terima janji muluk-muluk," ujarnya.
Ia juga menyayangkan sikap bupati dan wakil bupati yang tak pernah turun melihat ratusan rakyatnya telantar tidak punya rumah.
"Kalau Pak Camat sempat turun. Tapi yang kami minta pimpinan daerah untuk melihat kondisi kami," katanya.
Saat ini, katanya, tatusan jiwa dalam kondisi memprihatinkan di pengungsian. Semua warga konban eksekusi dalam keadaan bingung mencari tempat tinggal.
Karena, rumah mereka sudah hancur rata dengan tanah. Harta benda juga sudah dirampas orang-orang tak dikenal yang ikut melakukan eksekusi bersama dengan aparat kepolisian.
"Orang tua tak terurus. Anak-anak kondisinya memprihatinkan," ujarnya.
Junaidi mengatakan, sebagian korban eksekusi lahan kini hanya tinggal di dua unit tenda yang disiapkan Dinas Sosial Lombok Barat. Sebagian lagi tinggal di masjid.
Sementara itu kondisi lingkungan juga tidak memungkinkan. Kamar mandi, cuci dan kakus (MCK) tidak ada. Sarana air bersih juga sangat minim.
"Saya tidak habis pikir, pemerintah tega tinggal diam dan membiarkan eksekusi semacam ini. Kami juga sampai sekarang tidak tahu nasib 17 anggota keluarga kami yang masih dipenjara polisi. Apa maunya pemerintah ini kepada kami yang miskin," ujarnya.
Junaidi dan warga lainnya berharap Pemprov NTB dan Pemkab Lombok Barat membuka mata dan mengeluarkan kebijakan untuk menyelesaikan masalah ini.