REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar bersaksi di sidang kasus dugaan suap Pilkada Lebak, Banten atas terdakwa eks Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Akil menjadi saksi berkaitan dengan kasus pengaturan pemenangan pilkada di Banten.
Usai menjalani sidang sebagai saksi, Akil tetap merasa tidak bersalah dan bahkan siap menjalani sidang tuntutan. Pasalnya ia yakin tidak ada hukuman mati dalam tindak pidana korupsi. “Tapi memang ada hukuman mati? ada pasalnya di hukum Indonesia menentukan hukuman mati (untuk pidana korupsi)?,” kata Akil di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (12/6).
Akil mengatakan, paling maksimal ia akan dituntut jaksa dengan hukuman penjara 20 tahun. Ancaman penjara seumur hidup pun Akil merasa tak pantas menerimanya. Meski sesumbar, Akil tetap cemas dan berharap Jaksa tak akan menuntutnya dengan ancaman maksimal. Dengan dasar, ia tak melakukan perampokan terhadap uang rakyat.
“Saya kan tidak korupsi, tidak ambil uang Negara. Hanya terima (suap) satu dua sampai tiga milyar saja,” kata terdakwa dugaan penerimaan suap di sembilan Pilkada ini.
Akil malah membandingkan kasusnya dengan perkara bail out Century yang sampai saat ini proses peradilannya masih berjalan. Di matanya, seorang hakim agung menerima suap seharusnya mendapat hukuman lebih ringan daripada penyebab bailout Century. “Lihat saja itu kasus Century, sampai mana coba sekarang?,” ujarnya.
Akil didakwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menerima Rp 63,315 miliar sebagai hadiah terkait pengurusan sembilan perkara sengketa pilkada di MK dan Rp 10 miliar dalam bentuk janji untuk satu sengketa pilkada. JPU juga mendakwa Akil melakukan pencucian uang dengan menyamarkan harta sebesar Rp 161 miliar pada 2010-2013 dan harta sebanyak Rp 22,21 miliar dari kekayaan periode 1999-2010.