Jumat 06 Jun 2014 18:45 WIB

Anas Jelaskan Konteks Politik dari Dakwaannya

Anas Urbaningrum
Foto: Republika/Wihdan
Anas Urbaningrum

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum menjelaskan konteks politik dari surat dakwaan yang ditujukan kepadanya.

"Kondisi internal Partai Demokrat dan KPK saya angkat kembali agar sidang tidak melupakan konteks dalam proses hukum yang membawa saya ke persidangan, ada proses yang khas, yang tidak seperti biasanya dan tidak bisa disebut kebetulan semata," kata Anas saat membacakan nota keberatan (eksepsi) dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat.

Nota keberatan itu ditulis tangan oleh Anas dalam 30 halaman dan dibacakan dengan berdiri selama sekitar 1 jam di hadapan majelis hakim yang dipimpin Haswandi dan disaksikan sejumlah pendukungnya dari Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI).

"Perkenankan saya mengingatkan peristiwa yang menyertai proses hukum saya. Pada 4 Februari 2013, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Presiden Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono mendesak KPK untuk segera mengambil langkah yang kongklusif dan tuntas terhadap masalah hukum terkait dengan saya," ungkap Anas.

Menurut Anas, pernyataan itu disampaikan dengan dilengkapi kalimat "Kalau memang dinyatakan salah, kita terima memang salah. Kalau tidak salah, kita ingin tahu kalau itu tak salah". Apalagi pernyataan itu muncul setelah rilis survei "khusus" yang mendesaknya untuk mundur sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.

"Pada 7 Februari 2013, anggota Dewan Pembina Syarif Hasan menyatakan sudah mengetahui bahwa saya ditetapkan sebagai tersangka, dan minta untuk menunggu pengumuman resminya setelah selesai rapat rapat dengan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat di Cikeas," tambah Anas.

Kemudian pada 8 Februari 2013, SBY selaku Ketua Majelis Tinggi mengambil alih partai dari Anas dan meminta Anas untuk fokus pada masalah hukum di KPK dan Partai Demokrat siap untuk memberikan bantuan hukum sehingga Anas merasa sudah diposisikan sebagai tersangka.

Sehari setelahnya yaitu 9 Februari 2013, surat perintah perintah penyidikan (sprindik) Anas pun bocor dan menjadi pemberitaan luas di media massa.

"Sprindik saya saat ini dikeluarkan pada 22 Februari 2013 setelah proses penuh drama dan hiruk-pikuk yang diketahui masyarakat dengan sangkaan yang khusus diketahui adalah proyek hambalang dan atau proyek-proyek lainnya tapi tidak dijelaskan secara gamblang apa yang dimaksud dengan proyek-proyek lain," jelas Anas.

Anas pun menambahkan bahwa pada 19 Oktober 2013, SBY mengirimkan pesan singkat (SMS) yang menandakan bahwa Anas akan dihadapkan ke persidangan seusai pemilihan legislatif (pileg).

"Bunyi SMS ketua umum Parta Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono pada 19 Oktober 2013 pada poin ke-6 menyebut akan menghadapi saya secara serius setelah pemilu legislatif, apakah tidak akan berimbas pada persidangan ini? Tanpa buruk sangka kita rindu sidang yang objektif, tapi persidangan saya yang dimulai setelah pileg apakah ada hubungan dengan hal itu? Apakah kerja keras hakim, jaksa dan penasihat hukum akan menabrak tembok yang tebal dan kuat?" tambah Anas.

Menurut Anas, dirinya hanya berharap agar jawaban pertanyaannnya adalah "tidak" agar dakwaan berdasarkan otentitas fakta, kredibilatitas kesaksian, substansi sesuai ketentuan yang berlaku termasuk fakta-fakta penting yang objektif, adil dan mandiri tanpa tekanan kekuasaan dan opini yang diorkestrasi sedemikan rupa.

Dalam perkara ini, ANas diduga menerima "fee" sebesar 7-20 persen dari Permai Grup yang berasal dari proyek-proyek yang didanai APBN dalam bentuk 1 unit mobil Toyota Harrier senilai Rp670 juta, 1 unit mobil Toyota Vellfire seharga Rp735 juta, kegiatan survei pemenangan Rp478,6 juta dan uang Rp116,52 miliar dan 5,26 juta dolar AS dari berbagai proyek.

Anas juga diduga melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU harta kekayaannya hingga mencapai Rp23,88 miliar.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement