REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyesalkan sikap Menteri Kesehatan yang bersikukuh meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menandatangani ratifikasi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control - FCTC).
"Jika ternyata nanti Presiden menyetujui dan mengaksesi FCTC, itu sebuah bencana besar bagi dunia pertanian di Indonesia," kata Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum PBNU, Andi Najmi Fuaidi, di Jakarta, Senin (26/5).
Andi mengatakan bahwa pembatasan penanaman tembakau akan memukul kehidupan petani dan masyarakat terkait lainnya.
"Harus diakui juga bahwa tembakau menjadi andalan perekonomian jutaan masyarakat Indonesia," katanya.
Bahkan, lanjut dia, komoditi tembakau memberikan sumbangan yang tidak kecil bagi pemasukan negara melalui cukai.
Menurut Andi, menanam tembakau sudah menjadi budaya turun temurun di kalangan petani di Indonesia, dengan hasil panen yang diakui dunia.
"Tidak mudah meminta petani kita beralih ke komoditi tanam lain, karena bagi mereka menanam tembakau adalah warisan leluhur," katanya.
Oleh karena itu, PBNU mendesak Pemerintah untuk tidak melemah dalam menghadapi tekanan-tekanan asing yang dinilai menggunakan isu perlindungan kesehatan sebagai kedok.
PBNU juga mendesak Pemerintah menerbitkan regulasi terkait pertembakauan yang sesuai dengan kondisi industri di Indonesia, karena karakteristik yang memang berbeda dengan negara-negara lain.
"Kami juga mendesak kepada DPR dan Pemerintah mendatang untuk memprioritaskan pembahasan dan pengesahan RUU Pertembakauan, yang mana itu adalah bagian dari perlindungan terhadap petani dan warisan budaya Indonesia," kata Andi.