REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya menyatakan lokalisasi prostitusi Dolly harus ditutup. Karena menyebabkan generasi muda Surabaya, terutama anak-anak dan remaja menjadi korban keberadaan Dolly.
Ketua DPRD Kota Surabaya M Machmud mengatakan rencana penutupan Dolly yang diumumkan Gubernur Jawa Timur Soekarwo dan Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini merupakan program yang bagus. Untuk itu pihaknya 100 persen mendukung penutupan lokalisasi yang konon terbesar se-Asia Tenggara itu.
Mengenai pihak-pihak yang menolak penutupan Dolly, Machmud meminta supaya Risma tidak goyah dengan rencana penutupan tempat prostitusi itu. Pihaknya juga sudah memberikan dukungan moril kepad Risma supaya tidak terpengaruh dengan pihak-pihak yang menolak Dolly ditutup.
“Termasuk ancaman Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kota Surabaya yang menerjunkan kader jika Dolly ditutup secara represif,” kata Machmud kepada Republika, Ahad (25/5).
Machmud menegaskan Dolly memang harus ditutup sesuai jadwal karena memberikan dampak buruk untuk warga Surabaya. Selama ini, kata dia, konsumen pekerja seks komersial (PSK) di Dolly hingga saat ini tidak hanya pria dewasa, melainkan juga generasi muda seperti anak-anak dan remaja.
“Kalau sudah begitu, siapa yang menanggung kalau anak-anak dan remaja yang terkena dampak buruk akibat adanya lokalisasi ini?Jangan hanya memikirkan nasib Warga Dolly yang jumlahnya tidak banyak, tetapi pikirkan juga dampak sosial yang lebih luas seperti menimpa generasi muda Surabaya,” ujar Machmud.
Apalagi, kata dia, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya tidak membiarkan begitu saja nasib para warga Dolly pascapenutupan. Pemerintah masih mau memberikan uang pesangon sebesar Rp 5 juta, memberikan pelatihan untuk PSK, bahkan jasa menawarkan pulang ke kampung halaman.
“Bandingkan dengan nasib pedagang kaki lima (PKL) Surabaya yang selama ini ditertibkan. Mereka tidak diberi uang, padahal mereka pekerjaannya lebih baik dan mereka juga penduduk Surabaya,” kata Machmud.