REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi X DPR RI Herlini Amran mengatakan, kebijakan tentang buku di Indonesia masih kurang. Pasalnya, buku hanya dianggap bagian dari proses pendidikan, bukan sebagai entitas yang berdiri sendiri. "Padahal bisa jadi buku adalah bagian budaya atau habitus masyarakat," kata Herlini, Senin, (19/5).
Ketika buku dijadikan sebuah entitas mandiri, ujar Herlini, seperti yang dilakukan bangsa Jepang maka setiap orang memiliki habitus membaca yang luar biasa. Hampir semua orang memiliki kebiasaan membaca di tempat-tempat umum.
"Makanya tidak heran, Jepang memiliki produktivitas nasional yang tinggi. Sebab rakyat tercerahkan oleh buku dan bersemangat," kata politikus PKS itu.
Kemauan untuk maju, kata dia, adalah hasil dari perubahan individual yang distimulasi oleh lingkungan. Indonesia adalah bangsa yang besar dengan kemajuan ekonomi nomor 10 dunia, tetapi dengan tingkat pendidikan yang tertinggal paling tidak berdasarkan data The Learning Curve Pearson 2014, sebuah lembaga pemeringkatan pendidikan dunia.
"Tentu kita prihatin, boleh saja kita mengatakan pemeringkatakan tersebut tidak berdasarkan fakta di lapangan. Akan tetapi, dari fenomena karut-marutnya ujian nasional, kita dapat menilai, bisa jadi penilaian The Learning curve pearson adalah benar," terang Herlini.
Dengan demikian, menurut Herlini, sudah saatnya kita membenahi dapur bangsa ini dengan mengupayakan kebijakan buku yang bersahabat dengan kemajuan. Misalnya, memberikan subsidi kepada penerbit agar buku yang dicetak menjadi lebih murah.
Selain itu, perlu mengkampanyekan secara masif gemar membaca, membuat perpustakaan nasional dan daerah lebih menarik dan bersahabat, membangun fasilitas perpustakaan gratis di mall.
"Sebagian upaya itu bisa dilakukan agar gemar membaca menjadi kebiasaan individual yang akhirnya menjadi budaya bangsa kita," ujar Herlini. n dyah ratna meta novia