REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Abdul Kadir Karding menilai langkah Menteri Kesehatan (Menkes), Nafsiah Mboi yang ngotot meminta Presiden SBY untuk aksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) sangat tendensius. Padahal, berkali-kali pihak Istana memberikan penjelasan, pemerintah tidak akan gegabah meratifikasi FCTC karena mempertimbangkan segala aspek kepentingan ekonomi maupun sosial masyarakat.
“Selain Presiden, mayoritas kementerian terkait juga menolak aksesi FCTC, seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, selain juga DPR,” kata Karding, Rabu (7/05).
Karding mengingatkan, sebagai pembantu Presiden sudah sepatutnya Menkes menghormati dan tunduk pada sikap Presiden. Ia berpendapat, tidak etis seorang menteri justru ingin melampaui kewenangan presiden. “Saya mempertanyakan sikap 'ngotot' Menkes untuk segera aksesi FCTC itu sebenarnya ada 'hidden' agenda apa?” tanyanya.
Lagi pula, sejumlah kementerian juga tegas menolak FCTC. Kementerian Pertanian, misalnya, akan terus menolak aksesi FCTC, mengingat dampak yang sangat merugikan bagi petani. Selain itu, pemerintah juga tidak memaksa petani tembakau untuk beralih ke tanaman lain.
Berbicara terpisah, Direktur Jenderal (Dirjen) Perkebunan Kementerian Pertanian, Gamal Nasir, justru mengkhawatirkan, bila pemerintah mengaksesi FCTC justru akan membuat industri rokok akan melakukan impor tembakau besar-besaran karena minimnya suplai tembakau lokal. “Padahal, penerimaan negara dari cukai rokok selalu meningkat, yaitu sekitar Rp80 triliun pada 2012 menjadi Rp 95 triliun pada tahun lalu,” ujar Gamal Nasir.
Ia berpendapat tidak bijak apabila usulan aksesi terus didesakan. “Ya, karena ini kan demi kepentingan petani kita. Jangan dilarang atau malah mengurangi gairah menanam, 'dong'. Apalagi tembakau juga punya potensi ekspor,” katanya.
Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian, Panggah Susanto juga berpandangan, Pemerintah Indonesia masih belum bisa mengganti peran industri rokok yang telah menyumbang pendapatan negara dan mempekerjakan jutaan rakyat Indonesia. “Kalau bisa mengganti ini (hasil dari industri rokok), ya silakan aja. Tapi kalau tidak ada penggantinya, memang tidak bisa dihilangkan (industri rokok tersebut),” ujarnya.
Panggah mengatakan, memang sulit menggantikan secara penuh peran industri rokok, tetapi untuk mengurangi dampak dari tekanan terhadap industri rokok tersebut masih bisa dilakukan.
“Ini bisa saja, tapi saya tidak yakin bisa menyelesaikan atau menyubstitusi peran industri rokok dalam perekonomian nasional dan penyerapan tenaga kerja,” kata dia mengakhiri.