Sabtu 03 May 2014 16:53 WIB

Bagir Manan Nilai Kebebasan Pers di Indonesia Terus Membaik

Rep: C63/ Red: Julkifli Marbun
Ketua Dewan Pers, Bagir Manan.
Foto: Antara/Fahrul Jayadiputra
Ketua Dewan Pers, Bagir Manan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –- Bertepatan dengan peringatan Hari Pers se-Dunia yang jatuh pada tanggal 3 Mei, Bagir Manan yang menjabat sebagai Ketua Dewan Pers saat ini pun angkat bicara mengenai kebebasan pers di Indonesia. Kerena menurutnya, berbicara mengenai Hari Pers tidak akan terlepas dari kebebasan pers itu sendiri.

Bagir mengatakan Pers di Indonesia saat ini lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Meskipun ada beberapa hambatan dalam kebebasan pers itu sendiri, Bagir tetap optimistis bahwa kebebasan pers di Indonesia akan terus lebih baik di masa mendatang.

Ia menyebutkan ada beberapa poin yang menghambat kebebasan pers di Indonesia, yang poin pertamanya adalah hambatan politik. Eksistensi Demokrasi di Indonesia sangat berperan besar dalam kebebasan pers di Indonesia. Oleh karenanya Bagir bersyukur, iklim demokrasi yang ada di Indonesia saat ini turut mempengaruhi kebebasan pers.

“Selama demokrasi masih ada, kebebasan pers pun akan tetap ada,” ujar Bagir saat dihubungi Republika, Sabtu (3/5).

Selain demokrasi, Bagir melanjutkan bahwa ada politisasi pers yang turut menghambat kebebasan pers. Kepemilikan media oleh para politisi bisa jadi menghambat kebebasan pers di Indonesia, meski diakuinya jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan media yang independen. Tetapi Bagir berharap hal tersebut tidak mengekang kebebasan pers pekerja media tersebut.

Beralih dari sisi politik, Bagir kemudian mengungkapkan hambatan vital dari kebebasan pers yakni dari sisi hukum. Secara konseptual kebebasan pers di Indonesia sudah tidak mempermasalahkan mengenai perizinan penerbitan pers atau pembredelan. Namun, hal yang masih sering dialami adalah ancaman kepada pekerja pers di Indonesia. Bahkan lebih daripada ancaman, ada beberapa pekerja pers yang mengalami kekerasan saat sedang menunaikan tugasnya.

“Masih banyak kekerasan yang menimpa wartawan baik dari perorangan ataupun sekelompok orang, dan hal itu yang akan terus kita (Dewan Pers) perjuangkan,” lanjut Bagir.

Kasus yang kembali mencuat diakui Bagir adalah kasus  kekerasan yang menimpa wartawan Yogyakarta Udin dari sejak 1996 yang hingga saat ini belum terungkap secara tuntas. Itulah yang menjadi kajian Dewan Pers yang melibatkan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Asosiasi Jurnalis Televisi Indonesia (AJTI) kemarin dalam diskusi bertema "Kasus Udin, Quo Vadis Perlindungan Jurnalis Indonesia" untuk menyambut Hari Pers Sedunia.

“Kemarin kita kumpul di Dewan Pers membahas kasus Udin, dan syukurnya polisi merespon akan memberikan keadilan bagi kasus tersebut,” kata Bagir.

Hal itu yang menurut Bagir perlu ditekankan dalam kebebasan pers di masa mendatang. Namun, Bagir juga bersyukur bahwa aparat penegak hukum selama ini telah banyak membantu menuntaskan kekerasan dan mendukung kebebasan pekerja pers.

Poin yang selanjutnya yakni sosial budaya dapat menjawab permasalahan kekerasan dalam pers. Bagir berpendapat, ada sebagian masyarakat yang masih alergi dan takut dengan kebebasan pers. Untuk itulah perlu diadakan pendidikan pers agar masyarakat tersebut mengerti bahwa pers sebagai rekanan masyarakat.

Meski demikian, Bagir juga menilai perlunya peningkatan mutu dari pekerja pers itu sendiri. Pekerja pers seharusnya bukan mereka sekadar memilih pekerjaan sesukanya saja, tetapi bagaimana ia memahami profesinya sebagai wartawan untuk masyarakat banyak. Bagir menyebut pekerja pers bukan hanya diupah sekadarnya, tetapi lebih daripada itu sebagai pekerja profesional yang layak mendapatkan kesejahteraan.

“Saya lebih setuju jika wartawan itu sebagai pekerja profesional, maka dari itulah perlunya meningkatkan mutu wartawan itu sendiri, maka ia memang berhak mendapat kesejahteraan dari profesinya tersebut,” jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement