Senin 21 Apr 2014 08:40 WIB

Sampah Dijadikan Alat untuk Bayar Pengobatan

Rep: Erick Purnama Putra/ Red: Joko Sadewo
Gamal Albinsaid, pendiri asuransi sampah
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Gamal Albinsaid, pendiri asuransi sampah

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR — Gamal Albinsaid bukan seorang dokter biasa. Penghargaan dari Pangeran Charles di Istana Buckhingham untuk kategori pemuda Sustainable Living Young Entrepreneurs Awards belum lama ini, menjadi buktinya. Melalui Indonesia Medika, ia berhasil menggerakkan masyarakat untuk terlibat aktif menjadi anggota klinik asuransi sampah.

 

Menurut mahasiswa Fakultas Kodekteran Universitas Brawijaya (UB) Malang ini, sampah dan kesehatan itu ternyata dua hal yang bisa disatukan. Tokoh Perubahan Republika 2013 ini mengisahkan awal mula tertarik terjun mengelola sampah.

 

“Ceritanya, waktu kuliah itu saya suka sekali melakukan penelitian. Saya membaca sebuah penelitian menarik yang sangat menggugah. Dari semua penelitian, hanya delapan persen yang diterapkan di kehidupan sehari-hari, dan sebanyak 92 persen sisanya menjadi pengetahuan belaka, sekadar penghias kampus,” kata Gamal kepada Republika Online (ROL) di Bogor, belum lama ini.

 

Bahkan, kata dia, ada sebuah universitas terkenal di dunia melaporkan, hasil telaah terhadap 2.852 jurnal, hanya lima penelitian yang diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Artinya, ada sebuah masalah yang memisahkan kemampuan memproduksi pengetahuan dan mendistribusikan pengetahuan.

 

Akhirnya, Gamal tergerak untuk mengaplikasikan ilmu yang saya dapat dengan membuat Indonesia Medika pada 2010. Perusahaan ini bergerak di bidang asuransi sampah. Caranya, masyarakat yang sudah terdaftar wajib menyetor sampah yang sudah ditentukan sebagai syarat untuk mendapat fasilitas pengobatan. Dengan kata lain, peserta wajib membawa sampah senilai Rp 10 ribu per bulan sebagai pembayaran premi kesehatan.

 

Mengapa membidik masyarakat kelas bawah? “Saat ini, sekitar 60 persen masyarakat Indonesia tidak memiliki asuransi kesehatan. Angka ini naik dari sebelumnya sebesar 80 persen. Namun, hal itu juga berbarengan dengan tingkat kesadaran masyarakat untuk memiliki asuransi kesehatan masih minim. Realita ini juga dipengaruhi karena mereka termasuk low middle income.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement