Rabu 02 Apr 2014 08:15 WIB

KPK: Modus Korupsi Bersembunyi di Balik Kebijakan

Rep: Irfan Fitrat/ Red: Bilal Ramadhan
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyentil pendapat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait kebijakan yang tidak dapat diadili. Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas menilai doktrin seperti itu mulai bermunculan kembali.

"Suara-suara dengan tema kebijakan tidak dapat diadili kembali mengemuka. Tidak tanggung-tanggung, yang menyuarakan adalah orang nomor satu di Republik ini," ujar Busyro, saat menjadi pembicara dalam acara diskusi di Kampus Perbanas, Jakarta, Selasa (1/4).

Komentar SBY itu dilontarkan saat jamuan makan malam di Menara Bank Mega, Senin (10/4). Salah satu komentar SBY menyinggung soal bantuan pada Bank Century. "Terlepas dari kepentingan apa yang melatarbelakanginya, yang jelas suara-suara itu sudah barang tentu patut dicurigai sebagai upaya mendistorsi sebuah proses hukum," ujar Busyro.

Kasus Bank Century, menurut Busyro, merupakan salah satu skandal terbesar dalam sejarah Indonesia. KPK saat ini tengah mengusut kasus tersebut terkait dengan pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. KPK sudah menetapkan mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Budi Mulya sebagai tersangka.

Busyro mengatakan, muncul realitas adanya modus korupsi yang bersembunyi di balik kebijakan. Khususnya, menurut dia, kebijakan pada sektor keuangan dan perbankan. "Ini dipandang penting karena selama ini kebijakan telah menjadi save heaven korupsi yang berlindung di balik doktrin kebijakan tidak bisa diadili," kata dia.

Doktrin ini, menurut Busyro, bermunculan di mana-mana. Ia menyayangkan banyak pihak yang ikut latah mengutarakan pendapat kebijakan tidak bisa diadili. Padahal, menurut dia, belum tentu mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. "Apabila dicermati secara arif dan bijaksana, pola korupsi dalam bentuk penyalahgunaan kewenangan yang bersembunyi di balik kebijakan semakin hari semakin banyak dijumpai," ujar dia.

Busyro menilai, penyelamatan ekonomi nasional sebagai akibat krisis global memang tindakan baik. Akan tetapi, menurut dia, bukan berarti dengan memanfaatkan momen krisis itu untuk menyelamatkan bank dengan mengakalinya.  "Memberikan FPJP kepada bank yang tidak layak. Bahkan dibela-bela dengan mengubah ketentuan agar seolah-olah memenuhi syarat adalah bentuk penyalahgunaan kewenangan yang bersembunyi dibalik kebijakan," kata dia.

KPK juga melihat indikasi penyalahgunaan kewenangan lain. Busyro mengatakan, ada upaya untuk menutup-nutupi keadaan sebenarnya sebuah bank. Kemudian diduga muncul analisis yang menyatakan akan berdampak sistemik. Padahal, menurut dia, tidak sistemik. Bahkan, muncul dugaan adanya upaya menyajikan data yang tidak sebenarnya sehingga lahirlah kucuran dana triliunan rupiah. Menurut dia, itu menjadi bentuk penyalahgunaan kewenangan dibalik kebijakan. "Pada saat yang bersamaan kebijakan itu sebagai sarana perwujudan delik," ujar dia.

Busyro menilai memang ada indikasi terjadinya pergeseran metode korupsi. Biasanya, ia mengatakan, korupsi ini masih secara konvensial, berupa penyuapan. Namun, KPK melihat indikasi korupsi dengan cara yang lebih halus. "Bergerak ke arah soft corruption dalam bentuk kebijakan yang 'sah'," kata dia.

Menurut Busyro, soft corruption ini keuntungannya tidak bersifat jangka pendek. Begitu pun dengan keuntungannya, menurut dia, yang tidak selalu berbentuk nominal uang. Ia mengatakan, keuntungan yang didapat lebih cenderung pada bentuk kepentingan dengan jangka waktu yang lebih panjang. Ia mengatakan, KPK akan mengawasi modus-modus korupsi dengan cara yang lebih halus tersebut.

Busyro mengatakan, perlu ada pengawasan terhadap kebijakan di berbagai sektor, tidak hanya ekonomi dan perbankan. Menurut dia, perlu pemantauan juga kebijakan di sektor perpajakan, pertambangan, energi, perdagangan, dan kelautan. "Serta sektor-sektor lain perlu dicermati kemungkinan korupsi di dalamnya," kata dia.

Salah satu yang menjadi perhatian KPK, menurut Busyro, adalah mengenai sektor minerba. Ia mengatakan, lembaganya melakukan kajian di 12 provinsi secara intensif terkait tata kelola sektor minerba. Busyro antara lain menyoroti persoalan pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang terindikasi tidak transparan. "KPK menemukan data indikasi perampokan sektor ini melalui akrobat kebijakan sistemik aspek hulu-hilir," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement