REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA-- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menyatakan bahwa 318 dari 460 kepala daerah Kota atau Kabupaten se-Indonesia melakukan tindak pidana korupsi. Mahfud menyebutkan bahwa sebenarnya Indonesia belum bisa sepenuhnya membersihkan korupsi karena warisan generasi yang korup.
Karena suburnya praktek korupsi, kata Mahfud, membuat sebagian besar kepala daerah melakukannya. “Menurut data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Indonesia, sebanyak 318 dari 460 kepala daerah kabupaten atau kota di Indonesia melakukan korupsi. Sementara itu 16 dari 33 gubernur di seluruh provinsi wilayah Indonesia juga melakukan tindakan itu,” ujarnya saat workshop bertema "Indonesia 5 Tahun ke Depan: Pemikiran Tokoh Nasional" di Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur (Jatim), Jumat (14/3).
Yang tidak kalah ironis, ia menyebutkan nilai skandal korupsi SKK Migas sebanyak Rp 7.000 triliun. Angka itu disebutnya tiga kali lebih besar dari utang Indonesia, bahkan empat kali lebih besar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yaitu sekitar Rp 1.850 triliun.
“Padahal kalau kasus itu diselesaikan dan uangnya dikembalikan, ibaratnya setiap individu rakyat Indonesia bisa mendapat Rp 20 juta,” ujarnya.
Untuk itu, ia menyebutkan dibutuhkan beberapa upaya untuk memberantas korupsi. Langkah pertama yaitu melakukan lustrasi nasional yaitu undang-undang (UU) yang dirancang khusus untuk membatasi politikus dan pejabat yang notabene terlibat praktek kolusi korupsi nepotisme (KKN) pada masa sebelum reformasi supaya tidak terlibat dalam politik saat ini.
“Selain itu perlunya dibuat aturan hukum yang baru, khususnya hukaman hukuman mati seperti di Cina,” katanya.
Akibat tidak adanya hukuman mati, kata Mahfud, hukum di Indonesia menggantung, tidak dihukum mati namun tidak juga dibebaskan. Selama ini, penegakan hukum korupsi di Indonesia maksimal 20 tahun penjara dan itupun masih dipotong remisi. Yang lebih parah, kata Mahfud, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki kewenangan memberantas korupsi yang lebih besar. Padahal pelaku tindakan haram itu lebih banyak.
“Selain itu, lakukan pembuktian terbalik untuk menjerat pelaku korupsi,” katanya.