REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Kasus hukum bail out Bank Century terus bergulir di tahun politik ini. Kasus ini, kata ahli hukum perbankan Pradjoto, tergolong rumit karena bahasa perbankan dikupas dengan bahasa politik. Dari bahasa politik itulah, menurut Pradjoto, kemudian menggiring kasus ini ke dalam proses hukum. Padahal, bail out Century lahir dari deraan krisis ekonomi dan keuangan yang terjadi pada 2008.
"Pada 2008 itu tak kurang tiga Perpu lahir sebagai reaksi dari adanya krisis," kata Pradjoto dalam penjelasan pers kepada Republika, Kamis (13/3). Saat itu, ada masalah likuiditas terhadap perbankan, termasuk pada Bank Century.
Pradjoto menjelaskan, terlepas dari kinerja Bank Century pada saat itu, Bank Indonesia (BI) sebagai lender of the last resort mempunyai kewajiban atas dasar UU untuk membantu bank yang kekurangan likuiditas. BI pun mengeluarkan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada Bank Century.
Salah satu syarat untuk mendapatkan FPJP, kata Pradjoto, adalah minimal rasio kecukupan modalnya (CAR) di level 8 persen. Yang tidak dipahami banyak kalangan, jelas dia, rasio itu berlaku untuk keadaan normal, bukan dalam keadaan krisis.
Ditegaskan Pradjoto, latar belakang itulah yg mendorong BI untuk mengubah ketentuan rasio kecukupan modal agar bank yang mengalami kekurangan likuiditas dapat secara leluasa meminta FPJP. "Pertanyaannya, apakah perubahan kebijakan itu sebuah tindak pidana kejahatan?" ia mempertanyakan.
Ada tiga persoalan yang dilandaskan pada falsafah hukum yang mendasari kasus ini untuk menemukan jawaban itu. Ketiganya, tutur Pradjoto, apakah perubahan itu dilakukan oleh pihak yang berwenang atau mendapat kewenangan atas dasar UU.
Kedua, adakah iktikad jahat ketika melakukan perubahan itu dan ketiga, adakah tindakan yang bersifat koruptif dengan menerima imbalan, dalam bentuk apapun, ketika melakukan perubahan itu. Jika ketiga pertanyaan tadi dapat dijawab dengan gamblang, lanjut dia, maka pertanyaannya menjadi apakah perubahan ketentuan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang masuk ke dalam wilayah hukum administrasi negara atau hukum pidana.
"Jika pertanyaan yang terakhir ini tidak bisa dijawab dengan gamblang, maka para pejabat bersiap-siap untuk menjadi tawanan politik dari setiap keputusan yang diambilnya," tegas Pradjoto.