Senin 10 Mar 2014 19:07 WIB

Tukang Sampah, Pahlawan Lingkungan Sesungguhnya

Rep: c69/ Red: Karta Raharja Ucu
Seorang tukang sampah mengumpulkan sampah. Penghasilan yang diterima jauh dari kata layak untuk hidup di Jakarta, Rp 800 ribu per bulan.
Foto: Fanny Octavianus/Antara
Seorang tukang sampah mengumpulkan sampah. Penghasilan yang diterima jauh dari kata layak untuk hidup di Jakarta, Rp 800 ribu per bulan.

REPUBLIKA.CO.ID, Karyo memarkir gerobak oranyenya di depan pos polisi Kelurahan Rorotan. Perawakan kecil, kulit kusam, kaus basah, hingga tembus pandang karena seharian ini hujan deras. Tanpanya mungkin hujan bisa menjadi bencana untuk masyarakat.

Seharian ini Karyo bekerja mulai pukul 06.00 WIB hingga pukul 18.00 WIB. Tidak selalu sampai sesore itu ia bekerja. Tergantung dari banyaknya sampah yang diangkut. Kalau sampai Magrib belum juga selesai, ia akan melanjutkannya besok.

Karyo hanya beristirahat saat makan siang dan ketika selesai bekerja. “Kalau dibawa kerja terus mah nggak capek, kalau kebanyakan istirahat tuh baru kerasa capek,” kata Karyo sembari mengelap keringat saat berbincang dengan ROL, Sabtu (22/2).

Karena pekerjaannya, sebagian orang menyebutnya sebagai “tukang sampah”. Dengan gerobaknya, setiap hari ia berkeliling mengangkat sampah dari tempat pembuangan di rumah-rumah penduduk. Sampah itu kemudian dibawa ke dekat Perumahan Garden.

Dalam sehari, biasanya lima kali ia akan berkeliling mengangkut sampah di tiga RT tanggungannya. Ia akan diupahi Rp 250 ribu setiap RT. Maka, dalam sebulan ia akan menerima gaji Rp 750 ribu. Gajinya ia peroleh dari ketua RW setempat. Dalam satu RW terbagi menjadi 12 RT. Tiga petugas kebersihan lainnya mengangkut sampah di RT-RT lain. 

Ia juga mendapatkan upah dari ibu-ibu perumahan. Kadang Rp 5.000, tapi bisa juga Rp 10 ribu. “Buat jajan sama rokok, katanya,” ujar Karyo.

Mulutnya sedikit bergetar ketika berbicara, menahan rasa dingin. Tubuhnya hanya ditutup kaus yang berlubang di beberapa tempat, juga celana jins belel berlubang yang dilinting hingga lututnya. Hujan sepanjang hari membuat keadaannya kurang baik.

Pria asal Indramayu itu baru empat bulan bekerja di Kelurahan Rorotan. Ia tiba di Depok pada 1999, lalu bekerja sebagai pencari rongsokan. Menjadi petugas kebersihan dilakukannya setelah ada seorang teman yang mengajak.

Kini ia masih mengumpulkan rongsokan. Pekerjaan itu ia lakukan sambil berkeliling menjadi tukang sampah. Rongsokan itu kemudian dibawanya ke pengepul untuk dikilokan. Dari sanalah ia mendapat tambahan penghasilan. Kemasan botol plastik, misalnya, akan dihargai Rp 3.000 sampai Rp 4.000 per kilogram. Sedangkan, kardus seribu rupiah per lembarnya. Dari sampah ini, sehari ia bisa mengumpulkan hingga Rp 70 ribu.

Pernah suatu kali ia sakit. Badannya meriang dan lemas, kepalanya pusing. Ia minta izin kepada ketua RT untuk istirahat. Selama setengah bulan ia tidak menarik gerobak. Maka, selama itu sampah di tiga RT Kelurahan Rorotan tidak ada yang mengangkut. Untunglah hal itu tidak membuat gajinya dipotong.

Gajinya masih harus digunakannya untuk membayar ongkos angkot dari Kampung Sawah. Di sanalah rumah papannya berada. Untuk tidur dan mandi, tidak dipungut biaya. Ia hanya membayar untuk makan. “Saya //ngikut// bos,” katanya. Bos yang dimaksud adalah juragan rongsokan.

Untuk kebutuhan hidup, dalam sebulan ia harus mengeluarkan Rp 900 ribu bersih. Sisanya ia tabung. “Saya titip ke bibi saya. Buat kawin,” ujar Karyo yang mengaku lebih memercayai bibinya itu dibanding harus menabung di bank.

Lain halnya dengan Takam. Ia mendapat gaji Rp 300 ribu per bulan untuk mengangkut sampah satu RT di Kompleks Malaka Indah. Sampahnya ia kumpulkan di tanah lapang dekat perumahan mewah tersebut. Dalam sehari seringnya ia mengumpulkan sampah empat gerobak dari empat gang dalam satu RT. “Kalau habis ada hajatan, lebih banyak lagi,” katanya menjelaskan.

Dari tanah lapang itu nantinya sampah akan dibawa truk milik RW setempat. Sejak pukul 05.00 WIB, ia dengan sepedanya berangkat dari kontrakan di Tambun Rengas. Biasanya pekerjaannya selesai sampai pukul 12.00 WIB. Setelah itu, ia langsung pulang untuk istirahat.

Di kontrakan Takam dan keluarganya tinggal. Istrinya sudah lama meninggal. Satu anaknya sudah menikah dan memberinya cucu serta tinggal di kontrakan sebelah kontrakan Takam. “Sampai sekarang, ya seringnya masih saya yang bayar apa-apanya,” ujar bapak tiga anak ini.

Satu setengah tahun yang lalu, ia belum mendapat gaji dari ketua RT. Dulunya ia memperoleh upah dari perorangan yang sampahnya diangkut. Penghasilannya tidak pasti, setiap rumah memberi upah yang berbeda nilainya. Kadang Rp 10 ribu, ada juga yang memberi Rp 50 ribu. Sekarang pun masih ada yang memberi upah perorangan.

“Ya, buat nyarap sama ngopi-lah, ya,” katanya sambil mengunyah nasi dengan lauk ikan, Ahad (23/2). Kadang memang ada juga yang membungkuskan sarapan atau makan siang untuknya.

Untuk sampingan, ia juga mengumpulkan rongsokan. Sehari ia mendapat bayaran Rp 15 ribu, kadang Rp 40 ribu. Sering kali ia tidak mencari sendiri rongsokan itu, tapi diberi ibu-ibu di perumahan. “Bersih-bersih doang mah nggak cukup. Buat bayar kontrakan Rp 300 ribu sebulan, habis duitnya,” katanya.

Takam tidak pernah bolos bekerja. Ketika sakit pun, ia tetap keliling mengambil sampah. Ia merasa kasihan kepada warga jika sampah dibiarkan menumpuk. Bahkan, ketika hari hujan, ia tetap mengambil sampah. “Kemarin dua hari lepek nungguin hujan reda, nggak pulang nanti saya,” ceritanya sambil tertawa.

Hujan dua hari ini memang tidak seharusnya ditunggu. Saat beginilah mereka paling dibutuhkan. Sampah tidak pernah bersahabat dengan baik. Biar hujan, baju basah, menggigil, dan kepala pusing, Karyo, Takam, serta teman-temannya tidak surut. Sampah menghidupi mereka. Dan, lingkungan membutuhkan mereka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement