REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai potensi korupsi di wilayah industri sektor minyak dan gas masih susah dipantau karena memiliki pengelolaan keuangan yang tertutup.
"Ya bagaimana kita bisa mengawasi kelembagaannya (industri migas) saja masih tertutup, apalagi publik juga tidak paham istilah-istilah yang terkait dengan industri migas sehingga sulit diawasi," kata Koordinator Divisi Monitoring dan Analisa Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas di Yogyakarta, Kamis (6/3).
Dalam seminar "Memberantas Korupsi di Sektor Minyak dan Gas" di Universitas Gadjah Mada (UGM) itu, Firdaus menyatakan potensi korupsi di sektor industri migas masih tinggi, mulai dari proses pemberian izin tambang hingga penutupan pertambangan.
"Namun berbagai pengelolaan di dalamnya masih tertutup sehingga sampai saat ini tidak banyak pejabat yang berhasil diproses hukum, sampai sekarang baru dua orang kan,"katanya.
Selain itu, kata dia, potensi itu juga kemungkinan dapat dijumpai pada sisi pelaporan pendapatan serta pelaporan pengembalian biaya (cost recovery) operasi dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi.
"Misalnya banyak sektor pengeluaran yang tidak perlu digantikan atau fiktif, namun dalam laporan disertakan," katanya.
Menurut Firdaus, seluruh tahapan dalam proses pengelolaan di pos-pos industri migas susah ditelusuri. Bahkan, istilah teknis di wilayah migas juga hanya dipahami oleh kalangan tertentu.
"Sehingga sampai saat ini pengawasan serta audit hanya dapat dilakukan oleh BPK, pertanyaannya seberapa jauh BPK mengaudit?," katanya.
Menurut dia, dengan pengawasan industru migas yang masih banyak bersifat formal, diperlukan intervensi penegakan hukum dari lembaga hukum lain.
"Kalau tidak demikian, itu akan berdampak pada kerugian negara, serta pelanggaran korupsi yang sesungguhnya bisa dikembangkan lebih lanjut," katanya.