REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jimly Asshiddiqie menyatakan keprihatinannya terhadap Mahkamah Konstitusi (MK). Ia pun menyarankan, partai politik untuk tidak mengorbankan kepentingan bangsa dengan mencalonkan anggotanya menjadi hakim konstitusi.
Dia mengatakan, MK tempat seorang negarawan. Makanya, sebelum menunjuk calon hakim, presiden, DPR dan Mahkamah Agung (MA) perlu mencermati betul Pasal 24C ayat 3 dan 5 UUD 1945. Sebagai lembaga pengusul, mereka harus lakukan check and ballance.
"Hakim MK ini diposisikan netral, karena akan menyelesaikan sengketa dari presiden, DPR dan MA," kata mantan ketua MK tersebut saat dihubungi Republika, Ahad (23/2).
Menurutnya, dalam ketentuan tersebut dijelaskan, hakim konstitusi itu dipilih 'oleh' bukan 'dari' ketiga lembaga pengusul itu. Artinya, baik presiden, DPR, atau MA harus mencari negarawan untuk dicalonkan menjadi hakim MK. Tidak bisa mereka menunjuk anggotanya sendiri.
Jimly mengakui, peraturan UUD memang tidak merinci mengenai siapa yang disebut negarawan. Namun dia memastikan, yang dimaksud di sana pasti bukan seorang politikus.
Kelemahan itu sayangnya disalahtafsirkan. Partai politik seolah ingin menempatkan kadernya di MK untuk suatu kepentingan. "Sekarang ini, saya hanya bisa imbau agar ketua umum parpol tidak mengizinkan anggotanya mencalonkan diri untuk menjadi hakim MK," ujar dia.
Menurut Jimly, tiga lembaga pengusul hakim konstitusi tersebut sebaiknya mencari seseorang yang sudah dianggap senior dan tidak tertarik atau berkecimpung di dunia politik. Dengan begitu, tidak akan muncul lagi krisis kepercayaan di lembaga peradilan tertinggi itu.
Kemudian, dalam proses rekrutmennya, ketiga lembaga pengusul dianjurkan segera menerbitkan kebijakan khusus. "Hakim MK kan dipilih sesuai dengan empat prinsip yakni, partisipatif, akuntabel, objektif dan transparan. Jadi perlu ada aturan yang memuat bagaimana tahapanannya sebenarnya," kata dia.