REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pemerintah melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin menegaskan bahwa Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak menghilangkan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"RUU KUHP dan RUU KUHAP merupakan 'lex generalis' sehingga tidak menghilangkan kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan," kata Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin dalam pernyataan tertulis di Jakarta, Jumat.
Pada Rabu (19/2) KPK mengirimkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie dan Ketua Panitia Kerja (panja) Komisi III DPR Aziz Syamsuddin untuk meminta penundaan pembahasan kedua RUU itu karena mengancam keberadaan KPK.
Menurut Amir, RUU KUHP merupakan upaya rekodifikasi hukum pidana sehingga seluruh asas hukum pidana berlaku untuk semua tindak pidana baik yang diatur di dalam KUHP maupun di luar KUHP.
Artinya KUHP yang baru tidak menjadikan UU di luar KUHP tidak berlaku karena UU di luar KUHP merupakan lex specialis seperti diatur dalam Pasal 757 dan Pasal 758 RUU KUHP.
"Dengan demikian, RUU KUHP tidak mengeliminasi eksistensi UU di luar KUHP dan tidak mendelegitimasi keberadaan lembaga penegak hukum antara lain KPK," tambah Amir.
Oleh karena itu, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam UU No 30 Tahun 2002 dan hukum acara pidana yang diatur dalam UU No 20 Tahun 2001 jo UU No 31 Tahun 1999, yang merupakan lex specialis, tetap berlaku.
Sedangkan terkait dengan penghapusan penyelidikan dalam RUU KUHAP, hal itu diserahkan kepada setiap institusi yang telah ditentukan dalam UU masing-masing, misalnya Pasal 43 dan Pasal 44 UU No 30 Tahun 2002.
"Selain itu, tindakan penyelidikan merupakan tindakan yang dilakukan secara diam-diam yaitu tindakan keintelijenan yang bersifat 'undercover' yang cukup diatur di dalam aturan masing-masing lembaga hukum," tambah Amir.
Kemudian terkait dengan masa penahanan, mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan sampai dengan kasasi hanya mempunyai perbedaan 41 hari antara RUU KUHAP dan KUHAP (UU No 8 Tahun 1981).
Masa penahanan dalam RUU KUHAP berjumlah 360 hari, sedangkan dalam KUHAP berjumlah 401 hari. Pembatasan mengenai jumlah masa penahanan disesuaikan dengan UU No 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR yang berlaku secara universal.
Terkait "justice collaborator" dan "whistle blower" menurut Amir pada dasarnya sama dengan saksi mahkota (Pasal 200 RUU KUHAP).
Aturan lain adalah mengenai penyadapan, dapat diartikan bahwa Pasal 3 ayat (2) RUU KUHAP memberikan keleluasaan kepada UU di luar KUHAP mengatur hukum acaranya masing-masing.
Dengan ketentuan tersebut, KPK dapat melakukan penyadapan tanpa meminta izin kepada pengadilan. Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 39 ayat (1) UU No 30 Tahun 2002.
Amir juga menegaskan bahwa pemerintah tidak bermaksud mengebiri KPK.
"Pemerintah dan Tim Penyusun RUU KUHAP tidak ada maksud sama sekali mengebiri atau menghilangkan kewenangan KPK, namun penyusunan kedua RUU tersebut atas dasar sistem hukum nasional dan memperhatikan HAM yang universal," jelas Amir.