REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Anas Urbaningrum, tersangka kasus dugaan tindak pidana gratifikasi dalam proyek Hambalang, dikenal oleh publik sebagai politisi muda paling berpengaruh di Indonesia. Khususnya sejak kemenangan mengejutkan Anas dalam proses pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat.
Mantan Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar (PB) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu kerap kali disebut sebagai 'The Rising Star' yang potensial menjadi pemimpin bangsa Indonesia di masa depan. Bahkan politisi muda ini mulai dijagokan sebagai calon presiden di kalangan internal Partai Demokrat.
Namun semua impian dan harapan itu sirna pasca ditetapkannya Anas sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana gratifikasi proyek Hambalang. Citranya sebagai politisi muda paling fenomenal dan berpengaruh pun ikut ternoda dengan status barunya tersebut.
Direktur Pusat Kajian Kepemudaan (Puska Muda) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI), Rissalwan Habdy Lubis, memaparkan, pelaksanaan demokrasi di Indonesia belum memberikan kesempatan yang luas bagi politisi muda untuk berkiprah di posisi-posisi strategis dalam partai politik.
"Dalam kasus Anas Urbaningrum, terlihat sekali bahwa politisi muda hanya bisa berkembang dalam pola quasi-monarchy dan pseudo-democracy. Artinya hanya anak muda yang ada dalam 'trah' politik-lah yang bisa menapaki anak tangga regenerasi politik," tutur Rissalwan Habdy Lubis saat dihubungi Sabtu malam (11/1).
"Sedangkan politisi muda yang sudah di anak tangga regenerasi politik, namun ambil jalur cepat, maka mereka harus rela ditendang dari tangga regenerasi politik tersebut," lanjut dosen sosiologi FISIP UI itu.
Kasus Anas Urbaningrum, menurut dia, merupakan contoh nyata dari praktek demokrasi yang tidak mengizinkan politisi muda untuk mengambil jalur cepat. Bahkan meskipun mereka sudah di anak tangga regenerasi politik.
Namun Rissalwan menolak dengan tegas anggapan perseteruan antara politisi muda dengan politisi tua dalam kasus Anas Urbaningrum.
"Saya kira penahanan Anas tidak berkaitan dengan perseteruan antara politisi muda dan tua. Anas dijegal karena dia melawan pada Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Jadi bukan karena dia masih muda," tegas salah satu penulis buku 'Manajemen Penanggulangan Bencana'itu.
"Artinya, regenerasi politisi muda tidak akan terpengaruh dengan pemberangusan citra Anas sebagai politisi muda, ujar Rissalwan.