Jumat 13 Dec 2013 00:28 WIB

SIGMA Desak KPU Buat Peraturan Pelaporan Kekayaan Caleg

Koordinator Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin
Foto: bawaslu.go.id
Koordinator Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga pemerhati pemilihan umum, Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (SIGMA) mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) segera membentuk peraturan yang mewajibkan kepada setiap Calon Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden untuk melaporkan kekayaannya kepada KPU.

"Laporan kekayaan yang meliputi juga kepemilikan rekening bank para calon Penyelenggara Negara itu selanjutnya diumumkan kepada publik, sekurang-kurangnya di website KPU, dan diserahkan kepada PPATK dan KPK guna dilakukan penelitian, pemeriksaan, klarifikasi, pemantauan, dan pencegahan praktik korupsi," kata Koordinator SIGMA, Said Salahudin dalam keterangan tertulisnya kepada ROL, Kamis (12/12).

Menurutnya, usulan ini didasari oleh sedikitnya tiga alasan. Pertama, adanya ketentuan dalam undang-undang yang menyatakan bahwa sebelum memangku jabatan sebagai Penyelenggara Negara, mereka berkewajiban untuk bersedia diperiksa, melaporkan, dan mengumumkan harta kekayaannya. Ketentuan ini secara tegas diatur pada Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme ("UU Anti KKN").

Kedua, adanya hak masyarakat untuk memperoleh informasi tentang kekayaan dari para calon wakil rakyat dan para pemimpin yang akan mereka pilih. Jaminan atas hak masyarakat itu sebagaimana diatur pada Pasal 28F UUD 1945 dan dipertegas dalam UU Anti KKN juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Informasi kekayaan Calon Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden itu diperlukan sebagai indikator atau parameter bagi masyarakat untuk menilai tingkat kewajaran harta kekayaan yang dimiliki oleh para para calon, dan mengukur semangat atau derajat transparansi dan akuntabilitas dari para calon Penyelenggara Negara tersebut. Berdasarkan alat ukur itulah pemilih akan memiliki alasan rasional dalam menentukan pilihannya.

"Ketiga, adanya fakta yang menunjukkan terjadinya peningkatan tren transaksi yang mencurigakan dari para politisi, sebagaimana temuan PPATK," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement