REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ingin mengoreksi sejarah kelam, yang menuduh NU sebagai salah satu aktor utama pembantaian layaknya genosida terhadap ribuan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).
Perlunya koreksi sejarah itu disampaikan Wakil Ketua Umum PBNU, KH As'ad Said Ali dalam acara peluncuran buku putih 'Benturan NU-PKI 1948-1965'. Menurut As'ad tidak ada yang disebut genosida terhadap PKI oleh kelompok tertentu. "Yang terjadi adalah konflik horizontak yang dipicu oleh PKI sendiri, terutama ketika terjadi kekacauan dan vakum kekuasaan. Juga tidak ada pelaku tunggal atau korban tunggal," ujar As'ad dalam rilis dan sambutannya, Senin (9/12).
Menurutnya, pada saat masa-masa itu semua menjadi korban. Buku ini juga mengungkapkan data korban dari kalangan NU yang juga tidak sedikit pada peristiwa Madiun 1948 hingga G-30S-PKI 1965. Sayangnya, kata dia, ini tidak pernah dicatat oleh para peneliti barat.
Buku 'Benturan NU-PKI 1948-1965' juga mengungkapkan adanya dramatisasi jumlah korban dalam beberapa catatan sejarah yang ada. "Dari sekitar belasan ribu atau puluhan ribu menjadi ratusan ribu. Bahkan peneliti barat mengasumsikan jumlah korban menyentuh satu juta orang."
Dari buku ini, jelas As'ad, semata hanya ingin menunjukkan bahwa NU memiliki sikap yang tegas terhadap sejarah kelam itu. Karena hampir setiap 1 Oktober atau peringatan hari sejarah lain, NU selalu diteror karena dianggap terkait peristiwa 1948 dan 1965 tadi.
Buku ini pun hadir atas keprihatinan dari Ulama NU perlunya melakukan perlawanan. "Perlawanan yang NU lakukan yakni dengan bil hikmah wal mauidhatul hasanah, hadirnya buku putih ini." Karena, kata dia, NU bagian dari pendirian republik ini, itulah perlunya pelurusan sejarah.
Penulis buku 'Benturan NU-PKI 1948-1965' Abdul Mun'im menjelaskan, buku ini dibuat dari kajian sejarah versi NU. Yang bisa jadi berbeda dari buku sejarah dan kajian yang sudah pernah dipublikasi secara umum sebelumnya. "Buku ini hadir untuk lebih mengedepankan rekonsiliasi antaranak bangsa bukan untuk memunculkan kembali memori konflik pada peristiwa 1948 dan 1965," ujarnya.