REPUBLIKA.CO.ID, AMUNTAI -- Mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum Pusat Hafiz Anshari mengungkapkan, calon pemimpin maupun calon anggota legislatif yang hanya berorientasi materi dalam mendapatkan jabatannya merupakan penodaan demokrasi.
Menurut Hafis di Amuntai, Jumat, proses demokrasi bisa luntur apabila dalam proses pemilihan, seorang pemimpin lebih berorientasi kepada materi dari pada aspek kualitas kepemimpinan yang dimiliki.
"Kenyataannya banyak organisasi yang memilih dan mengangkat seorang pemimpin karena yang bersangkutan mampu memberikan dana bagi organisasi, dan mengesampingkan aspek kualitas," kata Rektor IAIN Banjarmasin Prof Hafiz Anshari.
Mantan Ketua KPU Pusat ini menilai proses seperti itu sama sekali tidak demokratis dan mencerminkan kepribadian yang tidak berkarakter dari para pengurus dan anggota organisasi.
Proses demokrasi, katanya, menjadi ternodai karena mengesampingkan kandidat lain atas pertimbangan dan persaingan yang kurang sehat.
Hafiz yang menjadi narasumber Dialog Interaktif yang digelar Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Muda di Amuntai, melihat kecenderungan orientasi materi ini menyebabkan pemilihan seorang pemimpin tidak lagi mempertimbangkan segi kualitas dan karakter seseorang.
"Asalkan berduit bisa dengan mudah menjadi seorang pemimpin di suatu organisasi," kata Hafiz.
Mantan Ketua Nahdlatul Ulama (NU) Kalimantan Selatan ini berharap, orientasi semacam ini bisa dihindari dalam Pemilihan Umum Legeslatif (Pileg) 2014.
Kecenderungan memilih pemimpin berduit ini mengakibatkan suburnya praktik politik uang (money politik), politik kekeluargaan, korupsi dan sebagainya.
Ia berharap, masyarakat bisa memilih Calon Legeslatif yang memiliki kualitas dan berkarakter, agar bisa melaksanakan tugas sebagai anggota legislatif dengan baik.
Membawakan makalahnya berjudul Pembangunan Pendidikan Berkarakter Menyukseskan Pemilu 2014, Hafiz menandaskan pendidikan karakter lebih penting untuk membangun generasi mendatang.
Pendidikan karakter ini, paparnya harus pula berdasarkan pada penanaman aspek keagamaan dan spritualitas.
Lebih lanjut Hafiz menjelaskan, Undang-undang tentang Sistem pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20/ 2003 juga mendahulukan penanaman kekuatan spritual keagamaan.
"Demikian pula definisi pendidikan nasional dalam Undang-undang itu juga mendahulukan pendidikan yang berakar pada nilai-nilai agama," sebutnya.
Sehingga wajar, kata Hafiz, jika tujuan utama dari penyelengaraan pendidikan nasional adalah mewujudkan manusia yang bertaqwa dan berakhlaqul karimah sebelum kemudian disusul target lain, yakni sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demoktratis dan bertanggung jawab.
Membentuk karakter ini, saran Hafiz, dengan membentuk sistem kebiasaan yang diterapkan sejak kecil oleh pihak keluarga yang dilanjutkan dengan pendidikan di sekolah.
"Tegaskan dulu karakter apa yang ingin dibentuk, lalu ciptakan sistem untuk membentuk kebiasaan itu" tuturnya.
Menurutnya, dari kebiasaan itu akan terbentuk karakter yang diinginkan dalam melahirkan generasi yang lebih dari sebelumnya.