Kamis 21 Nov 2013 19:17 WIB

Waspada, Demokrasi 'Dibajak' Berhala Kekuasaan

Fachry Ali
Fachry Ali

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Manfaat proses demokrasi sejak era reformasi 15 tahun lalu telah "dibajak" oleh oknum-oknum partai politik yang menjadikan kekuasaan dan kewenangan tertinggi sebagai berhala, bukan mengutamakan kepentingan rakyat, kata pengamat politik Fachry Ali.

"Ideologi dan koalisi yang mereka (oknum parpol) miliki 'longgar'. Mereka mementingkan elit, bukan mengutamakan negara," kata Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu dalam diskusi bertema "Demokrasi Rakyat vs Demokrasi Voting" di Jakarta, Kamis.

Sesuai konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, partai politik memegang peranan penting dalam tatanan demokrasi Indonesia karena keterwakilan dalam legislatif dan pimpinan tertinggi eksekutif hanya dapat diakomodir dengan menggunakan partai sebagai kendaaraan.

Namun, kelemahan partai politik, ujar Fachry, mengerucut kepada kelembagaan yang semakin lemah dan minimnya pemikiran untuk melibatkan partisipasi masyarakat secara aktif. Dia menyebut kondisi politik negara kini seperti sistem politik proletar.

"Negara ini sekarang 'proletarian political system', suatu sistem politik di mana institusionalisasi politik itu belum bagus. Kemudian, partisipasi masyarakat belum menyeluruh," ujarnya.

Dia juga menyoroti anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terbukti melanggar hukum dan tidak aktif, tapi masih mendapat gaji.

Begitu juga dengan wacana pejabat pemerintahan dan anggota dewan yang terbukti korupsi namun diwacanakan masih mendapat tunjangan pensiun. Hal tersebut menurutnya adalah persekongkolan yang mengkhianati rakyat.

"Itulah yang menyebabkan, sifat kerakyatan dari demokrasi ini terlihat tidak jelas," ujar dia.

Aktivis reformasi pada 1998 Indra J. Piliang pada kesempatan yang sama, mengatakan demokrasi yang sedang dijalankan belum ideal.

Dia menyebutkan fungsi pranata demokrasi antara Presiden, Menteri dalam eksekutif dan anggota DPR di legislatif tidak didirikan secara utuh. Proses menyuarakan pendapat antar elit itu, mengenai sebuah isu misalnya, dilakukan tanpa sistem yang jelas dan tidak memberikan ruang diskusi yang elok untuk dinikmati rakyat.

"Harusnya ada forum saat Presiden bicara, di situ juga ada MPR, DPR, DPD yang juga harus menyuarakan suaranya. Presiden sudah berbicara mengenai suatu isu, tapi Menteri yang menjadi bawahan Presiden ikut berbicara. Seharusnya dihargai sistem pranata demokrasi di eksekutif," ujarnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement