Senin 18 Nov 2013 16:17 WIB

Staf Presiden: Australia Perlu Klarifikasi Soal Penyadapan

Mata-mata dan penyadapan arus data dan komunikasi (Ilustrasi)
Foto: REPUBLIKA.CO.ID
Mata-mata dan penyadapan arus data dan komunikasi (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional, Teuku Faizasyah, menegaskan Pemerintah Australia perlu mengklarifikasi isu penyadapan terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan pejabat Indonesia karena berpotensi mengganggu hubungan kedua negara.

"Pemerintah Australia perlu klarifikasikan hal ini ke Pemerintah Indonesia. Ini penting untuk menjernihkan suasana. Adanya berita tersebut saja sudah berpotensi mengganggu hubungan," katanya melalui pesan singkat, Senin (18/11).

Intelijen Australia mencoba menguping pembicaraan telepon yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan istrinya serta beberapa menteri senior. Dokumen rahasia yang dibocorkan oleh Edward Snowden dan diterima media penyiaran Australia Broadcasting Corporation serta harian The Guardian itu menyebutkan presiden dan sembilan orang terdekatnya sebagai target pengintipan.

Hal itu mencuat saat hubungan bilateral dua negara meruncing terkait tudingan mata-mata dan isu penanganan manusia perahu yang melewati Indonesia menuju Australia. Dokumen tersebut menunjukkan, badan intelijen elektronik Australia (Defence Signal Directorate) melacak aktivitas telepon seluler SBY selama 15 hari pada Agustus 2009 saat Kevin Rudd dari Partai Buruh menjabat sebagai perdana menteri.

ABC mengatakan salah satu dokumen itu berjudul "3G impact and update" yang memetakan upaya intelijen Australia untuk mengimbangi pertumbuhan teknologi 3G di Indonesia dan seluruh kawasan Asia Tenggara. Terdapat sejumlah pilihan pemintasan dan direkomendasikan untuk memilih salah satu diantaranya untuk diaplikasikan kepada target --dalam hal ini pemimpin Indonesia, demikian dilaporkan ABC.

Pengungkapan terakhir dokumen Snowden tersebut muncul hanya beberapa minggu setelah adanya laporan yang mengeklaim bahwa pos-pos diplomatik Australia di luar negeri, termasuk Jakarta, terlibat dalam jaringan luas pengintaian yang dipimpin AS. Hal itu memicu kemarahan dari Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa.

Laporan ini kemudian disusul dengan laporan lain dari the Guardian awal bulan ini bahwa Australia dan Amerika Serikat menjalankan operasi pengintaian bersama terhadap Indonesia saat digelarnya pertemuan iklim PBB di Bali pada 2007.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement