REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah Indonesia dinilai belum sadar atas keamanan situs jaringan internet sehingga, akses pihak asing untuk melakukan penyadapan terbuka.
Dibutuhkan tenaga ahli serta teknologi menjalankan sistem perlindungan di setiap institusi/lembaga.
Pengamat Telematika, Heru Sutadi mengatakan, kemanan atas situs jejaring tiap-tiap lembaga tidak selalu sama, ada yang masih dinilai lemah sistem proteksinya. Sebab, dia menilai, Pemerintah belum menganggap hal tersebut sebagai prioritas.
“Yang penting ada dulu IT-nya, masalah keamanan itu urusan nomor dua atau berikutnya,” kata Heru pada Republika saat dikonfirmasi, Rabu (13/11).
Dia menambahkan, munculnya aksi peretas atau hacker yang menyerang Pemerintah Australia merupakan efek dari lemahnya sistem pengamanan negara. Menurut dia, ibarat satu tim sepak bola, saat pemain bertahannya lemah, maka para penyeranglah yang kemudian aktif.
Adanya wacana pembentukan cyber crime, kata Heru, jangan sampai seperti sebelumnya yang kurang memperhatikan fungsi keamanan. Kalau perlu, Kementrian Pertahanan (Kemenhan) RI bekerjasama dengan para peretas Indonesia untuk menjaga sistem tersebut.
“Butuh tenaga ahli yang siap menjaga 24 jam dan teknologi proteksi seperti perangkat lunak tertentu. Dan memang balik lagi pada ketersediaan anggaran pemerintah,” ujar dia.
Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pertahanan Brigjen TNI Sisriadi Iskandar mengklaim, sistem keamanan Pemerintah sudah terkordinasi dengan baik. Dengan memanfaatkan Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure (ID SIRTII) Kementerian Kominfo, mereka selalu memberikan informasi atas penyadapan dan peretas situs jaringan pemerintah.
Ditambah, bantun dari lembaga bentukan Budi Raharjo yakni, Indonesia Computer Emergency Response Team (ID cert) yang juga peduli atas sistem kemanan nasional.
“Mereka adalah tim yang merespon adanya gangguan cyber. Dan isu terjadinya penyadapan di situs jaringan Pemerintah, itu belum terbukti kan?” kata Sisriadi.
Mengenai pembentukan cyber army, dia mengatakan, pihaknya masih mendiskusikan program tersebut. Dan pada 2014 direncanakan baru terbentuk. Namun sistem itu nantinya hanya berfungsi untuk mengamankan institusi Kementerian Kemananan dan TNI, bukan secara umum.