REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Isi pidato Wapres Boediono di ajang ‘Indonesia Investment Summit 2013’ nyaris persis sama dengan pidato tahun lalu. Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menilai kemiripan itu menunjukkan kualitas kurang orang-orang yang berada di sekitar presiden dan wakilnya.
Menurut dia, naskah pidato presiden atau wapres menjadi bagian dari tanggung jawab Menteri Sekretaris Negara dan staf khusus kepresidenan yang menangani urusan tersebut. “Dulu, setiap naskah yang akan dibacakan oleh kepala negara atau wakilnya mesti dikoreksi dulu oleh mensesneg,” ujar Yusril, saat dihubungi, ROL Kamis (07/11).
Ia pun membandingkan pengalamannya sebagai penyusun naskah pidato presiden semasa Soeharto dulu. Kala itu, kata dia, mantan Mensesneg Moerdiono sangat berhati-hati mengoreksi setiap naskah yang akan dibacakan presiden. Dengan begitu, setiap kata atau redaksi yang disampaikan Soeharto benar-benar dipilih secara selektif.
“Menurut Pak Moerdiono, seorang pemimpin negara itu harus menghindari segala bentuk kecerobohan atau kekhilafan. Termasuk ketika berbicara di depan publik. Saya rasa pandangan beliau itu ada benarnya,” ungkap mantan Menteri Hukum dan HAM itu.
Yusril tak menampik, dulu pernah juga ada beberapa pengulangan dalam pidato yang dibacakan Soeharto. Itu biasanya terjadi pada momen-momen tahunan semisal acara ulang tahun PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Akan tetapi, pengulangan tersebut menurutnya sangat sedikit sekali karena fungsinya hanya untuk menjembatani situasi aktual saat itu.
“Jadi, harus ada kontinuitas dalam sebuah pidato itu. Pengulangan yang terjadi sekarang (pidato Boediono--Red) menurut saya terlalu radikal,” katanya.